News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mudik Lebaran 2021

Sosiolog: Kultur Mudik Sudah Tertanam di Pikiran Masyarakat Indonesia, Sulit Diubah

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MUDIK LEBIH AWAL - Calon penumpang memadati Terminal AKAP Kalideres, Jakarta Barat, Jumat (9/4/2021). Terkait adanya larangan mudik oleh pemerintah, sejumlah warga mengakalinya dengan mudik lebih awal untuk menjalani tradisi munggah yakni menjalani pekan pertama puasa ramadan di kampung bersama keluarga besarnya, setelah itu mereka kembali lagi ke Jakarta dan merayakan lebaran di ibukota. WARTA KOTA/NUR ICHSAN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ritual mudik pada Idul Fitri sudah menjadi budaya dan tertanam kuat di pikiran masyarakat Indonesia.

Meski ada pandemi covid-19 sekalipun keinginan untuk mudik masih muncul sangat kuat.

"Kalau kita bilang budaya itu dia sudah inheren kayak tertanam dalam dirinya dia. Kayak kita makan saja, bahwa sehari tuh makan tiga kali tuh, itu adalah keharusan, atau sehari dua kali kalau kebiasaan sehari dua kali. Atau kalau enggak makan nasi itu enggak afdol. Jadi, dia itu levelnya sudah sampai seperti itu, dia inheren di dalam pikiran manusia Indonesia itu sudah tertanam dan entah kenapa itu wajib untuk dilakukan," ujar Sosiolog Universitas Indonesia(UI), Nadia Yovani, Rabu(21/4/2021).

Baca juga: Jelang Larangan Mudik, PO Safari Dharma Raya Tetap Jual Tiket Sampai 5 Mei 2021

Untuk mengubah kultur seseorang mengenai mudik itu kata Nadia tidaklah mudah. Akan tetapi bisa saja dilakukan dengan pendekatan secara top down atau institusional approach kelembagaan. 

"Harusnya ketika sudah ada prosedur untuk pembatasan untuk mudik atau larangan mudik di lebaran tahun ini, itu juga disertai dengan prosedur yang jelas, aturannya juga clear, nah sanksinya juga jelas," katanya.

Dia menilai perlunya sanksi yang bisa membuat orang sadar bahwa pandemi covid-19 belum tuntas.

Nadia mencontohkan salah satu sanksi yang bisa diberikan kepada warga yang masih nekat mudik adalah dengan media sosial.

Foto-foto mereka yang nekat mudik dipampang di media sosial agar nanti netizen yang menghukumnya.

"(Komentar negatif netizen) itu sebenarnya sudah merupakan bentuk sanksi sosial sebenarnya dengan kita hidup di era digital seperti ini. Tapi yang diutamakan lebih kepada sanksi yang diberlakukan oleh pemerintah ketika warga masyarakat melanggar, tindakan ini," katanya.

Selain itu, lanjut Nadia, pemerintah juga harus konsisten dalam menegakkan aturan untuk mencegah masyarakat melakukan mudik. 

Pemerintah melarang mudik bagi seluruh kalangan masyarakat, mulai dari karyawan BUMN, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, anggota TNI-Polri, pekerja formal maupun informal, hingga masyarakat umum dalam rangka upaya pengendalian penyebaran Covid-19.

"Sanksi hukum itu saya pikir kalau memang diberlakukan dengan konsekuen, konsisten itu, ya itu bisa. Problemnya itu kan problem yang ada di Indonesia itu selalu mengenai konsistensi antara aturan dan implementasi daripada aturan tersebut," ujar Nadia.

Nadia menilai aparat di lapangan tidak boleh mengambil ekses dari sanksi yang diberlakukan pemerintah atau harus konsisten. 

"Misalnya negosiasi gitu ya dengan aparat," ujarnya.

Jika aparatnya di lapangan bisa konsisten, dia yakin bisa mengurungkan niat mudik

Dia mengatakan, lonjakan mudik lebaran adalah lonjakan yang paling tinggi. "Pembatasan pada peak season pada musim yang sangat tinggi ini, itu kenapa harus dilakukan karena tadi, sifat daripada pandeminya itu sendiri begitu dia jumlahnya banyak, rentan untuk kemudian penyebaran besar atau orang terinfeksi untuk kena," ujarnya.(Willy Widianto)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini