KontraS menilai hal tersebut sebagai aksi implisit atas leigitimasi rezim junta militer.
Padahal, aksi kolektif sejauh ini belum dicapai oleh negara anggota dikarenakan adanya perbedaan opini dan posisi diantara masing-masing anggota.
Perbedaan pandangan politik atas kudeta ini juga menyebabkan belum adanya konsensus dalam menyelesaikan krisis ini.
Posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan HAM PBB juga dipertanyakan oleh KontrasS.
Baca juga: Eks Sekjen PBB Desak ASEAN Segera Bersikap Atas Gejolak di MyanmarÂ
Sebagai anggota dari Dewan ini, Indonesia sudah seharusnya mengedepankan nilai-nilai HAM atas segalanya.
Lantaran hal ini merupakan tanggung jawab dan mandat yang harus diikuti Indonesia
Kontras menilai, pemerintah harus mengikuti aturan ini dan menggunakan peran ini untuk meningkatkan atensi terhadap krisis ini.
Kurangnya atensi Indonesia terhadap krisis di Myanmar baik dalam Dewan HAM, maupun ASEAN, menururt KontraS terlihat melalui bagaimana ASEAN merespons terhadap hal ini dua bulan setelah kudeta terjadi.
Baca juga: Pemerintah Bayangan Myanmar Ingin Diundang Dalam Pertemuan ASEAN di Jakarta
Respons ASEAN yang terlambat atas hal ini, memperlihatkan kepasifan ASEAN sebagai organisasi regional.
Tidak hanya itu, tetapi hal ini juga seperti melupakan Deklarasi HAM ASEAN (AHRD) dan menjadikan deklarasi tersebut kurang relevan dalam implementasinya.
AHRD pada dasarnya dibuat untuk memastikan keamanan di kawasan, termasuk juga setiap warna negara di dalamnya.
KontraS menilai ASEAN dapat semakin kehilangan kekuatan dan legitimasinya jika hal ini terus dilakukan.
Dalam memecahkan permasalahan di Myanmar, suatu hal yang krusial bagi ASEAN adalah menunjukan kemampuan dan komitmen dalam demokrasi, HAM, dan perdamaian dan kemakmuran kawasan.
Baca juga: Pemimpin Junta Militer Myanmar Dikabarkan akan Hadiri KTT ASEAN Jakarta, Tuai Kritikan dari Aktivis
Agar KTT ini menjadi wadah agar bermakna dan efektif, KontraS dalam rilis pers meminta para pemimpin ASEAN untuk mengikuti hal-hal berikut: