Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Rafli Kande meminta pengawasan pelayanan kesehatan rapid test antigen di semua tempat untuk lebih ditingkatkan.
Hal tersebut disampaikan Rafli menyikapi adanya penggunaan alat rapid test antigen bekas oleh oknum petugas PT Kimia Farma Diagnostika di pelayanan kesehatan Bandara Kualanamu, Sumatera Utara.
"Perlu dibentuk tim pengawasan seluruh tempat dan unit pelaksana yang melakukan rapid test antigen. Kemudian, seluruh kontrak Kimia Farma dengan Angkasa Pura perlu dievaluasi," kata Rafli saat dihubungi, Jumat (30/4/2021).
Menurutnya, kasus penggunaan alat rapid test antigen bekas harus diusut sampai tuntas, sampai pelakunya diproses secara hukum dengan sanksi berat.
"Sudah benar apa yang dikatakan Pak Erick (Menteri BUMN), pecat dan seret ke meja hijau karena ini sangat meresahkan masyarakat," tutur politikus PKS itu.
Diketahui, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Sumut menggerebek tempat pelayanan rapid test antigen di Lantai Mezzanine Bandara Kualanamu (KNIA) Deli Serdang, Selasa (27/4/2021).
Baca juga: Petugas Kimia Farma Gunakan Antigen Bekas, Komisi VI: Usut Tuntas dan Hukum Berat
Penggerebekan dilakukan lantaran pelayanan antigen di bandara tersebut menyalahi aturan karena diduga memakai alat kesehatan bekas.
PT Kimia Farma pun telah memecat para oknum petugas pelayanan kesehatan yang bekerja di cucu perusahaannya, PT Kimia Farma Diagnostika.
Pemecatan dilakukan setelah Kepolisian Daerah Sumatera Utara menetapkan oknum petugas sebagai tersangka kasus penggunaan alat rapid test antigen bekas di Bandara Kualanamu, Sumatera Utara.
Saat ini, Polda Sumatera Utara telah menetapkan lima orang tersangka di bidang yaitu PC, DP, SOP, MR dan RN.
Di mana PC selaku Bussines Manager PT Kimia Farma yang berkantor di Jalan RA Kartini, Medan.
Dalam kasus ini, para pelaku dikenai Pasal 98 ayat (3) Jo pasal 196 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar jo Pasal 8 huruf (b), (d) dan (e) Jo pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda Rp 2 miliar.