Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengaku, tidak terkejut Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen.
Sebab menurutnya presidential threshold 20 persen memang sudah seharusnya tidak diberlakukan.
"Kami tidak kaget dengan putusan MK ini, karena itu memang yang semestinya," kata Kamhar kepada Tribunnews.com, Kamis (2/1/2025).
Di sisi lain, Kamhar menegaskan posisi Partai Demokrat istikamah menyukseskan pemerintahan Presiden Prabowo ke depan.
"Kami akan senantiasa konsisten dan istikomah berada di barisan Pak Prabowo, dan akan menggunakan segenap daya dan upaya kami untuk memastikan suksesnya Pemerintahan Presiden Prabowo," pungkasnya.
Baca juga: Anwar Usman dan Daniel Foekh di Sidang Presidential Threshold: Pemohon Tak Penuhi Legal Standing
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang sebelumnya diatur parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya.
Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca juga: Zulkifli Hasan Gembira MK Hapus Presidential Threshold: Perkembangan Demokrasi Kita
“Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Satu hal yang dapat dipahami MK, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.