Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh, menyatakan ihwal para pemohon dalam uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak memenuhi syarat legal standing.
Dalam dissenting opinion mereka, kedua hakim tersebut menjelaskan legal standing adalah syarat mutlak bagi setiap pemohon uji materi di MK.
Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, hanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan hukum dan dapat membuktikan kerugian konstitusional yang nyata akibat berlakunya suatu undang-undang yang berhak mengajukan permohonan.
Para pemohon, yang merupakan mahasiswa dan pemilih dalam pemilu dinilai tidak dapat membuktikan berlakunya Pasal 222 menyebabkan kerugian langsung, nyata, dan spesifik terhadap hak-hak konstitusional mereka.
Baca juga: MK Hapus Presidential Threshold, Eks Anggota KPU: Ini Kado Awal Tahun Buat Kita Semua
Para hakim juga menilai alasan yang disampaikan pemohon lebih bersifat abstrak dan tidak menunjukkan kerugian pribadi yang spesifik, melainkan lebih kepada kepentingan publik secara umum. Dalam kasus ini, kerugian publik tidak cukup untuk memenuhi syarat legal standing.
Mereka juga menegaskan pengaturan presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang merupakan kewenangan membentuk undang-undang.
Sehingga, norma tersebut hanya bisa dibatalkan jika terbukti melanggar moralitas, rasionalitas, atau prinsip keadilan yang tidak tolerable, yang menurut mereka tidak terjadi dalam kasus ini.
Dengan alasan tersebut, kedua hakim menyatakan permohonan perkara 62/PUU-XXII/2024 seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Baca juga: PDIP Tunduk dan Patuh pada Putusan MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen
“Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas kami berpendapat bahwa mahkamah seharusnya menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh karenanya permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” sebagaimana dikutip dari salinan putusan nomor 62 melalui situs MK.
Sebagai informasi, MK menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu.
Putusan MK terkait penghapusan ambang batas ini merupakan permohonan dari perkara 62, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. (*)