Laporan Wartawan Tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Terorisme Ken Setiawan berpendapat bahwa UU Nomor 5/2018 tentang Tindak Pidana Terorisme memiliki kelemahan.
Kelemahan yang dimaksud tidak ada pasal yang mengatur agar penyebaran paham radikal bisa ditindak oleh aparat, dalam hal ini Densus 88 Anti-teror.
"Densus 88 paling hebat di dunia dalam menindak pelaku terorisme, tapi Densus belum bisa menindak di tingkat paham radikalnya sebelum melakukan aksi," ujar Ken Setiawan dalam pernyataan tertulis kepada Tribunnews.com, Minggu (9/5/2021).
"Kelemahan UU No 5 Tahun 2018 tentang tindak pidana terorisme adalah belum bisa menindak pahamnya, tapi tindakan atau aksi terorisme yang bisa ditindak," Tambah Ken.
Menurut dia, kelemahan pada UU tentang Tindak Pidana Terorisme ini menjadi penyebab di balik lemahnya langkah preventif dalam menanggulangi aksi terorisme.
Baca juga: Anggota Komisi I: Pelabelan KKB Sebagai Teroris Sudah Penuhi Unsur dalam UU Tindak Pidana Terorisme
"Itu dikarenakan orang atau kelompok yang hanya mengkampanyekan negara Islam atau khilafah belum bisa ditindak dengan pasal terorisme," tutur Pendiri NII Crisis Center itu.
"Kecuali mereka yang sudah bergabung dalam kelompok dengan berbaiat dan melakukan latihan untuk persiapan terorisme, itu bisa ditindak dengan ‘preventif strike’ atau pencegahan keras, jadi sebelum melakukan aksi mereka sudah bisa ditangkap aparat," sambung Ken.
Baca juga: Peneliti Terorisme: Ada 3 Konsekuensi Setelah KKB Papua Dinyatakan Sebagai Teroris
Ken mengingatkan, kelemahan pada UU ini membuat intoleransi dan paham radikal seperti takfiri dan anti budaya akan terus merajalela.
Itu dikarenakan payung hukum di Indonesia belum mencakup penindakan pada penyebaran paham-paham radikalisme.
"Sosialisasi pencegahan tertang radikalisme dan terorisme oleh kementrian dan lembaga, termasuk BNPT sudah sering digaungkan, namun masih kurang. Ibarat menyalakan api, kita itu lilin, sementara kelompok radikal itu obor, jadi kita masih kalah masif," jelas Ken.
"Jumlah kelompok radikal tidak banyak, namun mereka 24 jam bergerak, sementara masyarakat yang moderat cenderung diam tidak merasa terancam dan membiarkannya sehingga ini akan terus menyebar dan semakin merajalela," kata dia.