Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI mendorong pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merasa hak asasinya dilanggar dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk mengadu kepada pihaknya.
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik mengatakan dengan adanya laporan, Komnas HAM punya landasan yang lebih kuat untuk melakukan langkah pemantauan.
"Ada baiknya pegawai yang merasa diperlakukan tidak adil dan dilanggar hak asasinya datang mengadu ke Komnas HAM sehingga lebih kuat dasar kami untuk melakukan langkah pemantauan sebagaimana mandat Undang-Undang 39 tahun 1999," kata Taufan saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (9/5/2021).
Taufan mengatakan pihaknya belum mempelajari secara lengkap persoalan TWK untuk pegawai KPK yang memicu polemik di masyarakat tersebut.
Baca juga: Komnas Perempuan Minta Akses BKN Baca Langsung Daftar Pertanyaan Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK
Selain itu, kata dia, pihaknya juga belum membicarakannya di internal lembaganya.
"Baru dapat info surat NU, ya belum (dibicarakan di internal) lah. Kalau mau dibahas kan mesti menunggu komisioner lain diajak bicara," kata Taufan.
Diberitakan sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lewat Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) mengungkap dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan pelecehan seksual lewat pertanyaan yang dilakukan pewawancara terhadap calon ASN di KPK.
Pasalnya dalam sesi wawancara tes wawasan kebangsaan (TWK), PBNU menemukan sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pewawancara sama sekali tidak terkait dengan wawasan komitmen bernegara dan kompetensinya dalam memberantas korupsi.
Baca juga: Begini Pernyataan Resmi BKN Ihwal Tidak Lolosnya 75 Pegawai KPK karena Tes Wawasan Kebangsaan
“Mencermati cerita-cerita dari pegawai KPK yang diwawancarai terkait cara, materi dan durasi waktu wawancara yang berbeda-beda tempat terdapat unsur kesengajaan yang menargetkan pegawai KPK yang diwawancarai,” kata ketua LAKPESDAM PBNU, Rumadi Ahmad lewat keterangan pada Sabtu (8/5/2021).
Rumadi Ahmad menyebut TWK yang dilakukan pada 18 Maret hingga 9 April 2021 kepada 1.351 pegawai KPK menunjukan hal yang aneh, lucu, seksis, diskriminatif dan berpotensi melanggar HAM.
Sebagai contoh sejumlah pewawancara menanyakan pertanyaan: Mengapa umur segini belum menikah? Masihkah punya hasrat? Mau nggak jadi istri kedua saya? Kalau pacaran ngapain aja? Kenapa anaknya disekolahkan di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT)? Kalau shalat pakai qunut nggak? Islamnya Islam apa? Bagaimana kalau anaknya nikah beda agama?
Pertanyaan tersebut dinilai ngawur, tidak profesional dan mengarah pada ranah personal yang bertetangan dengan undang-undang Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atasa rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Baca juga: ICW Yakin Ketua KPK Firli Bahuri Tidak Akan Lolos Tes Wawasan Kebangsaan
“PBNU meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan mengusut pelanggaran hak-hak pribadi, pelecehan seksual rasisme dan pelanggaran lain yang dilakukan pewawancara kepada pegawai KPK yang diwawancara,” katanya.
PBNU menilai TWK yang diselenggarakan KPK bukan tes masuk menjadi ASN.
Seolah-olah TWK digunakan untuk mengeluarkan dan menyingkirkan sejumlah pegawai KPK yang bersebrangan dengan penguasa dan mengancam pihak-pihak yang bersekongkol melakukan korupsi yang ditangani KPK.
Apalagi diketahui sebagian besar pegawai yang dites adalah mereka yang sudah lama bekerja di KPK dan terbukti memiliki kompetensi dalam pemberantasan korupsi.
Sebagian pegawai KPK yang dites disebut juga sedang menangani proyek yang sangat serius.
Oleh karena itu, PBNU meminta kepada Presiden RI Joko Widodo untuk membatalkan TWK yang dilakukan terhadap 1.351 pegawai KPK, karena pelaksanaannya cacat etik-moral dan melanggar HAM yang dilindungi UUD 1945.
Ketua LAKPESDAM PBNU juga meminta agar MenPAN RB mengembalikan TWK calon ASN sebagai uji nasionalisme dan komitmen bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan bukan sebagai screening Litsus Zaman Orde Baru atau mihnah zaman Khalifah Abbasiyah.
“TWK tidak bisa dijadikan alat untuk mengeluarkan pegawai KPK yang sudah lama bergelut dalam pemberantasan korupsi,” lanjutnya.
PBNU juga mengajak masyarakat untuk terus mengawal dan menguatkan KPK dengan cara menjaga independensi KPK dari pengaruh-pengaruh eksternal yang bertujuan melemahkan KPK, baik secara cepat atau lambat.