TRIBUNNEWS.COM - Surat Keputusan (SK) penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status menjadi Aparatur Sipil Negar (ASN), beredar.
SK tertanggal 7 Mei 2021 itu ditandatangani oleh Ketua KPK, Firli Bahuri.
Sementara salinan sahnya ditandatangani Plh Kabiro SDM, Yonathan Demme Tangdilintin.
Dilansir Tribunnews, Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, membantah pihaknya menonaktifkan ke-75 pegawai tersebut.
Ali menyebut pelaksanaan tugas mereka berdasarkan arahan langsung dari atasan.
Baca juga: POPULER NASIONAL Soal Mafia Alutsista Mr M | 75 Pegawai KPK Dinonaktifkan
Baca juga: KPK Akui Sudah Sampaikan SK Hasil TWK ke 75 Pegawai
Mereka tidak akan bekerja hingga ada keputusan lanjutan.
"Pelaksanaan tugas pegawai yang bersangkutan untuk selanjutnya berdasarkan atas arahan atasan langsung yang ditunjuk," ujar Ali dalam keterangannya, Selasa (11/5/2021).
Ia pun menegaskan KPK tetap menjamin hak ke-75 pegawai tersebut.
Mengutip Tribunnews, berikut empat poin dalam SK 75 pegawai KPK yang beredar:
Pertama, menetapkan nama-nama pegawai yang tersebut dalam lampiran surat keputusan ini tidak memenuhi syarat (TMS) dalam rangka pengalihan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara.
Kedua, memerintahkan pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.
Ketiga, menetapkan lampiran dalam keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.
Keempat, keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.
Tanggapan Novel Baswedan
Baca juga: Dewan Pengawas Belum Tahu 75 Pegawai KPK Dinonaktifkan
Baca juga: 75 Pegawai KPK yang Tak Lulus TWK Lakukan Konsolidasi Sikapi SK Penonaktifan
Terkait SK penonaktifan 75 pegawai KPK, penyidik senior Novel Baswedan buka suara.
Dilansir Tribunnews, Novel menilai penerbitan SK tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang Ketua KPK, Firli Bahuri.
Menurutnya, SK itu seharusnya hanya berisi pemberitahuan hasil TWK.
Namun, berdasarkan isi SK, ke-75 pegawai KPK diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya langsung kepada atasan.
"Tapi isinya justru meminta agar pegawai dimaksud menyerahkan tugas dan tanggung jawab atau nonjob."
"Menurut saya itu adalah tindakan ketua KPK yang sewenang-wenang," ujar Novel Baswedan lewat pesan singkat, Selasa (11/5/2021).
Penerbitan SK tersebut, kata Novel, semakin menunjukkan adanya keinginan untuk menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas menggunakan segala cara.
Karena itu, Novel menilai tindakan tersebut berbahaya.
"Yang jelas gini, kami melihat ini bukan proses yang wajar, ini bukan seleksi orang tidak kompeten dinyatakan gugur."
"Tapi ini upaya yang sistematis yang ingin menyingkirkan orang bekerja baik untuk negara, ini bahaya!" bebernya, dilansir Tribunnews.
Baca juga: Novel Baswedan: Penggunaan TWK Menyeleksi Pegawai KPK Tindakan Keliru
Baca juga: Penyidik KPK Novel Baswedan Ungkap Pertanyaan TWK Kepada Dirinya
Secara tegas, Novel pun menyatakan ia dan ke-74 pegawai KPK lainnya siap melawan.
"Maka sikap kami jelas: kami akan melawan!" tandasnya.
Pengamat Sebut sebagai Hal Menyedihkan
Pengamat Politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, menilai penonaktifan 75 pegawai KPK sebagai hal yan menyedihkan.
"UU direvisi untuk memaksa lembaga ini berada di bawah presiden, lalu staf yang memiliki reputasi hebat dinonaktifkan karena alasan sumir: tidak lolos ujian wawasan kebangsaan."
"Sumir karena tidak jelasnya kriteria wawasan kebangsaan yang dimaksud," kata Ray dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/5/2021), dilansir Tribunnews.
Ray yang juga tergabung dalam Naruni '98 mengatakan, jika merujuk pada poin-poin TWK, hampir sulit membuat kesimpulan seseorang tak memiliki wawasan kebangsaan.
Tak hanya itu, soal-soal TWL juga dinilai cenderung melecehkankaum wanita dan memunculkan sensitifitas paham keagamaan.
Karena itu, Nurani '98 pun mendesak hal-hal berikut:
1. KPK harus membatalkan SK penonaktifan 75 orang staf KPK semata berdasarkan tes wawasan kebangsaan. Tes ini sendiri tidak memiliki dasar hukum yang kuat. UU Revisi KPK menyebut peralihan status staf KPK bukan pemilihan.
Baca juga: 75 Pegawai KPK Tak Lulus Tes Wawasan Kebangsaan ASN, Nasibnya Kini Ada di Tangan Firli Bahuri Cs
Baca juga: Komnas HAM Buka Diri Atas Informasi Tes Wawasan Kebangsaan dari Pimpinan dan WP KPK
Putusan MK juga menyatakan bahwa revisi UU KPK tidak boleh merugikan pihak pegawai KPK. Menpan RB juga sudah menyatakan bahwa tes ini dilaksanakan semata berdasarkan aturan internal KPK.
Jadi, aturan internal semestinya tidak boleh menghilangkan hak staf di dalamnya.
2. Selain berpotensi mengabaikan UU dan Putusan MK 70/PUU-XVII/2019, penonaktifan itu juga seperti mengabaikan berbagai kritik masyarakat dan ormas keagamaan yang menolak model tes tersebut diberlakukan.
Berbagai protes telah dilayangkan. Dan hampir seluruh protes dimaksud tidak pernah dijawab oleh KPK bahkan berujung pada saling lempar alasan.
Maka berdasarkan hasil tes yang semestinya tidak mengikat siapapun itu tetap dijadikan dasar oleh KPK untuk menonaktifkan 75 staf mereka yang sudah dikenal integritas dan dedikasinya bagi upaya pemberantasan korupsi.
3. Maka tes yang didasarkan pada kebijakan internal itu, sejatinya hanya boleh sampai pada derajat evaluasi dan pembinaan. Bukan dinonaktifkan.
4. Mendorong 75 staf yang dinonaktifkan agar terus menuntut hak mereka dikembalikan sebagaimana dinyatakan oleh UU dan putusan MK.
Sekalipun, nuansa pesimisnya jauh lebih kuat, tapi upaya harus terus dijalankan sampai batas akhir yang dimungkinkan oleh sistem.
5. Mendorong para aktivis 98 untuk bersama-sama menguatkan kembali gerakan anti korupsi dan tujuan reformasi.
KPK adalah simbol terakhir hasil gerakan reformasi '98 yang belum sepenuhnya dapat ditaklukan. Selain itu, di banyak tuntutan reformasi telah terjadi degradasi yang begitu kuat.
Kebebasan berpendapat, berserikat, perlindungan HAM merosot, profesionalisme TNI dan Polri yang sekarang mulai lagi kabur, tak berbilang semangat anti napotisme dan oligarki yang hampir hapus oleh siklus pemilu/pilkada lima tahunan. Nepotisme dan oligarki marak di dalam politik.
Tentu, terasa memilukan di saat kita tengah merayakan 23 tahun reformasi justru kita menemui berbagai hasil reformasi yang tengah dihancurkan.
Baca berita Seleksi Kepegawaian di KPK lainnya
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Ilham Rian Pratama/Fransiskus Adhiyuda Prasetia)