Konsekuensinya, data pada menit ketiga belum cukup stabil dibandingkan data pada menit ke-15.
Namun, untuk kepentingan keselamatan, maka data sensor yang terkumpul hingga menit ketiga harus segera dirilis.
"Sehingga policy kami, yang penting adalah skenario terburuk sehingga kita keluarkan terlebih dahulu pada menit ketiga, setelah pada menit ke-15 di-update, jadi bukan diralat," tegasnya.
Kepentingan keselamatan memang menjadi acuan utama. Jika BMKG menunggu data terkumpul hingga menit ke-15, bisa jadi korban sudah terlalu banyak.
Hal ini, kata Dwikorita, berkaitan erat dengan peringatan dini tsunami.
"Di USGS tidak memberikan peringatan dini tsunami, Jerman juga tidak memberikan peringatan dini tsunami. Tetapi di Jepang, Indonesia, Australia dan India mereka harus memberikan peringatan dini tsunami," tambahnya.
Selain itu, jika menunggu magnitudo dihitung stabil pada menit ke-15, tsunami bisa datang pada menit kedua.
Maka, tak ada gunanya peringatan dini tsunami yang diterapkan di Indonesia maupun di tiga negara itu.
Dengan data sensor yang sedikit pada menit ketiga, biasanya BMKG merilis data kekuatan gempa lebih tinggi, sehingga ketika dimutakhirkan bisa lebih rendah.
"Kami selalu berupaya agar update itu selalu selisihnya maksimum 0,7 (Magnitudo) atau paling buruk tidak lebih dari M 1," ungkapnya.
Dwikorita menekankan, BMKG selalu mengutamakan kecepatan. Dengan harapan, masyarakat berhasil diselamatkan, daripada menunggu akurasi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Penjelasan BMKG soal Pemutakhiran Data Gempa di Nias Jadi Bermagnitudo 6,7