TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua SETARA Institut, Hendardi, menyikapi polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kontroversi tersebut hingga kini masih menjadi sorotan masyarakat meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memberikan sikap terkait 75 status pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
Menurut Hendardi, pernyataan Jokowi yang bersayap dan tidak tegas menggambarkan keraguan sikapnya terkait politik hukum pemberantasan korupsi.
"Bagi 75 pegawai KPK penyataan Jokowi ini adalah pembelaan nyata atas mosi yang disampaikannya di ruang publik terkait dengan protes hasil TWK," kata Hendardi dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Jumat (21/5/2021).
Baca juga: 75 Pegawai KPK Tak Lulus TWK: Respons Firli Bahuri atas Arahan Jokowi hingga Reaksi Fahri Hamzah
Sementara bagi pimpinan KPK, menurut Hendardi pernyataan Jokowi bisa jadi ditafsir sebagai bentuk teguran dan inkonsistensi Jokowi dalam menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Publik bisa memahami bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN adalah mandat revisi UU KPK, dimana Jokowi dengan 50 persen kewenangan yang dimilikinya, Jokowi telah menyetujui revisi. Publik juga bisa mencatat bahwa pemerintah yang dipimpin Jokowi menyetujui hak inisiatif DPR yang mengusulkan revisi UU KPK," katanya.
Baca juga: 1.274 Pegawai KPK yang Lolos TWK Segera Dilantik Menjadi ASN
Akan tetapi, lanjut dia, setelah produk hukum itu selesai dan dijalankan pimpinan KPK, di tengah kontroversi tes TWK, Jokowi tampak cuci tangan.
Pimpinan KPK hanya menjalankan mandat UU KPK dan UU ASN serta peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tata cara menjadi ASN.
"Karena itu wajar jika oleh sebagian kalangan Jokowi dianggap basa basi.
Ihwal alih status 75 pegawai KPK sebenarnya secara normatif bisa diselesaikan melalui jalur-jalur yang tersedia dari mulai menggugat produk-produk administrasi negara yang dikeluarkan KPK maupun melalui Ombudsman terkait dugaan maladministrasi, sebagaimana sudah dilakukan oleh 75 pegawai KPK," katanya.
Akan tetapi amplifikasi di ruang publik menjadikan isu ini bergeser menjadi narasi mematikan KPK.
Padahal masih terdapat lebih dari 1.000 insan KPK lain di dalam institusi ini.
"Pengabaian TWK dalam proses seleksi dan/atau alih status ASN, yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai variabel tidak penting, juga bisa dianggap mengabaikan fakta-fakta intoleransi dan radikalisme yang sudah banyak bersarang di tubuh institusi-institusi negara, pemerintahan dan di tengah masyarakat," ujarnya.
Baca juga: Apa Kata Firli Bahuri Seusai Jokowi Sebut TWK Tak Jadi Dasar Pemberhentian 75 Pegawai KPK?
Menurut Hendardi, mandat lolos TWK itu melekat pada calon ASN, siapapun dan dimanapun institusinya.
Guna mengakhiri kontroversi yang merugikan agenda pemberantasan korupsi, menurut Hendardi sejumlah langkah nyata bisa ditempuh.
Pertama, Jokowi konsisten mendukung penegakan UU 19 Tahun 2019 yang disetujuinya pada 2019 silam dengan menjamin independensi KPK mengatur dirinya sendiri karena KPK adalah self regulatory body.
"Atau bisa mengeluarkan Perppu pembatalan UU 19/2019, sehingga kisruh alih status ini tidak terjadi dan tidak menyandera pimpinan KPK," katanya.
Kedua, KPK bersama badan terkait menjelaskan ihwal TWK dan mencari solusi-solusi yang tidak kontroversial termasuk kemungkinan pemberian penugasan-penugasan khusus selama 75 pegawai KPK belum beralih status dan memberikan kesempatan tes susulan.
"Ketiga, bagi 75 pegawai KPK melakukan upaya hukum sesuai dengan mekanisme yang tersedia," katanya.