Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bertepatan dengan peluncuran layanan pertama telepon seluler generasi kelima atau yang populer dengan sebutan 5G di Indonesia, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berharap pemerintah juga dapat mengatasi masalah kesenjangan digital.
Demikian disampaikan juru bicara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PSI, Sigit Widodo kepada wartawan, Kamis (27/5/2021).
Setelah mengantongi Surat Keterangan Laik Operasi (SKLO) 5G dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang dikeluarkan Senin (24/5/2021), Telkomsel mulai 27 Mei 2021 secara resmi menggelar layanan 5G secara terbatas di Jabodetabek.
Baca juga: Jaringan 5G Segera Dimulai, Pengamat Sebut Harus Jadi Tonggak Transformasi Digital di Indonesia
Layanan 5G Telkomsel dapat dinikmati di Kawasan Kelapa Gading, Pondok Indah, PIK, BSD, Widya Chandra, dan Alam Sutera.
Setelah Jabodetabek, layanan 5G secara bertahap akan menyusul, di Batam, Medan, Solo, Bandung, Surabaya, Makassar, Denpasar, dan Balikpapan.
Baca juga: Resmi Meluncur, Vivo V21 5G Jadi Smartphone Berteknologi 5G Tertipis di Indonesia
PSI menyambut baik penggunaan teknologi telekomunikasi terbaru ini di Indonesia.
“Sebelum Indonesia, 67 negara sejak tahun 2018 bertahap masuk ke jaringan 5G. Dibandingkan adopsi 4G, apalagi 3G yang tertinggal beberapa tahun dengan negara-negara maju, adopsi 5G oleh Indonesia saat ini relatif bersamaan negara-negara lain,” ujar Sigit.
Penggunaan teknologi 5G, menurut Sigit, akan sangat membantu meningkatkan kecepatan internet di Indonesia.
“Karena lebih dari 90 persen pengguna internet Indonesia menggunakan akses seluler, peningkatan kecepatan internet di ponsel secara umum akan mempercepat akses internet kita secara signifikan,” ujarnya.
Namun menurut PSI, adopsi teknologi yang cepat ini juga harus disertai dengan pengurangan kesenjangan digital yang saat ini masih menghantui Indonesia.
Sigit mengungkapkan adanya perbedaan data pengguna internet antara Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). .
“Data APJII menunjukkan pengguna internet di Indonesia sudah berjumlah 72 persen, sementara menurut BPS jumlahnya baru mencapai 54 persen,” kata Sigit.
Perbedaan data antara APJII dan BPS menunjukkan masalah kesenjangan digital di Indonesia bukan semata masalah teknologi dan infrastruktur.
“Data APJII menunjukkan 72 persen Warga Negara Indonesia secara teknologi dan infrastruktur memiliki akses ke internet, namun pengguna yang riil menggunakan internet baru sekitar 54 persen seperti yang disampaikan BPS,” ungkap Sigit.