TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak Istana Kepresidenan menolak ikut campur dalam polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengatakan, polemik TWK pegawai KPK kini bukan lagi menjadi urusan Istana Kepresidenan.
Sebab, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyampaikan sikapnya terkait polemik tersebut.
Moeldoko mengatakan apa yang terjadi di KPK saat ini adalah urusan internal lembaga antirasuah itu.
Putusan akhir terkait nasib pegawai KPK, kata Moeldoko, ada di tangan pimpinan KPK.
"Itu sudah urusan internal. Arahan Presiden sudah disampaikan," kata Moeldoko di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/6).
Baca juga: KPK Tidak Lagi Steril, Diyakini Ada Makelar Lain Selain AKP Robin
Moeldoko membantah anggapan bahwa arahan Presiden Jokowi tentang TWK pegawai KPK tidak didengar.
Ia mengatakan sikap Jokowi sudah jelas soal nasib 75 orang pegawai KPK yang tak lulus TWK.
"Bukan [tidak didengar arahan]. Setiap mereka kan punya pertimbangan," kata Moeldoko.
Mantan Panglima TNI itu menyebut setiap kementerian/lembaga punya ruang untuk mengurus masalah internal masing-masing.
Ia pun berharap KPK bisa menyelesaikan persoalan TWK tersebut. "Arahan Presiden sudah disampaikan. Urusannya dari pimpinan ke internal," tuturnya.
Tak hanya Moeldoko, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Kepala BPIP Yudian Wahyudi juga menolak mengomentari polemik TWK pegawai KPK.
Mereka bahkan tak menjawab pertanyaan yang diajukan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Agung Widyantoro dalam rapat di DPR kemarin.
Saat rapat Agung meminta pemerintah mengevaluasi tes serupa di lembaga pemerintahan lain. Ia tak ingin kegaduhan yang timbul dalam TWK KPK berulang.
”Setidaknya dalam evaluasi itu ada shortlist (daftar) tentang pertanyaan-pertanyaan sehingga tidak geger lagi seperti kemarin. Isu mengenai wawasan kebangsaan dari orang yang dicinta berjuta rakyat yang ingin Indonesia bersih, tidak lulus," kata Agung dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (2/6).
Baca juga: Respon Menkes Sikapi Korupsi Masker dan Hasil Pemeriksaan 20 ASN Dinkes Banten yang Berniat Mundur
Agung meyakini pemerintah sudah merumuskan TWK KPK dengan matang.
Ia juga percaya pemerintah bertujuan baik saat merencanakan TWK untuk para pegawai KPK.
Meski begitu, ia tak memungkiri ada penolakan publik terhadap hasil tes tersebut.
Dia meminta pemerintah melakukan tindakan setelah kejadian tersebut. "Saya mohon untuk bisa ada jawaban," ucap Agung.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Dolly Kurnia kemudian mempersilakan Istana menjawab seluruh pertanyaan dari anggota.
Namun, tak ada tanggapan soal TWK KPK.
Moeldoko hanya menggunakan kesempatan menjawab seputar perhutanan sosial.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung membahas beberapa hal, salah satunya serapan anggaran pemda yang masih rendah.
Sementara Mensesneg Pratikno menjawab beberapa pertanyaan Agung Widyantoro. Namun, tak ada satu pun jawaban terkait TWK KPK. Dia hanya membahas seputar pengalihan anggaran di Setneg.
Baca juga: Pengakuan Pemilik Kedai Viral di Puncak: Mengaku Salah Hitung, Siap Kembalikan Uang Pelanggan
Sebelumnya, KPK menyatakan 75 orang pegawai tak lulus TWK.
Mereka sempat dinonaktifkan setelah hasil tes keluar.
Presiden Jokowi sempat angkat suara terkait hal tersebut.
Dia menegaskan hasil TWK bukan jadi acuan untuk memecat pegawai KPK.
Pertimbangan MK dalam putusan soal UU KPK pun meminta alih status ASN tak merugikan pegawai.
Meski begitu, KPK memgambil keputusan berbeda. Adapun 24 orang lainnya diberikan kesempatan untuk dibina dan menjalani tes ulang.
Judicial Review
Kemarin, 75 pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dalam asesmen TWK mengajukan uji materi atau Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pegawai itu yang diwakili sembilan pegawai sebagai pemohon mengajukan uji materi atas Pasal 69 B dan 69 C UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang mengatur tentang alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Pada hari ini kita mendaftarkan JR ke MK," kata perwakilan para pegawai, Hotman Tambunan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (2/6).
Hotman menjelaskan alasan pihaknya mengajukan uji materi ke MK.
Dikatakannya, melalui uji materi ini, pihaknya berharap MK menafsirkan mengenai prosedur alih status pegawai menjadi ASN yang benar.
Hal ini lantaran pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) selama ini menafsirkan sendiri mengenai maksud alih status tersebut.
Padahal, MK merupakan penjaga dan penafsir akhir konstitusi.
Baca juga: Nasib remaja yang Terjun dari Lantai 5 Apartemen di Jaksel dan HR dari Lantai 26 Apartemen di Jakbar
Apalagi dalam pertimbangan putusan uji materi UU KPK sebelumnya MK telah menegaskan proses alih status pegawai menjadi ASN tidak boleh merugikan para pegawai.
"Kami berpikir supaya jangan menjadi bola liar di masyarakat kita bawalah ke MK. Karena kita menyadari mereka, para hakim MK adalah para negarawan yg memahami konsep dan filosofi dasar wawasan kebangsaan," katanya.
Hotman menyatakan, dengan menggunakan TWK, BKN telah memonopoli alat ukur kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Padahal, dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden hingga kepala daerah saja cukup dengan surat pernyataan setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika cukup dengan pernyataan setia.
Untuk itu, kata Hotman, jika BKN meyakini TWK dapat menjadi alat ukur yang valid dalam mengukur kesetiaan warga negara sudah sepatutnya, TWK diterapkan kepada para pejabat dan penyelenggara negara.
"Kemudian kami ingin melihat apa yang dimaksud tentang kebangsaan. Apakah yang dimaksud kebangsaan itu pandai pidato tapi melanggar kode etik atau orang-orang yang berjuang untuk memberantas korupsi, orang-orang yang memenuhi aturan, orang-orang yang bayar pajak. Maka nanti kita lihat di sidang MK," katanya.
Baca juga: Viral Pasutri Cekcok dengan Debt Collector di Kalimalang, Kapolsek Duren Sawit Beri Penjelasan
Pasal 69B ayat (1) UU KPK menyatakan, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara, Pasal 69 B ayat (2) menyebutkan, pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan Pasal 69C menyatakan, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(tribun network/mam/ham/dod)