News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ibadah Haji 2021

Haji 2021 Batal, Bagaimana Nasib Dana Jemaah Haji? Ini Penjelasannya dan Cara Pengembalian Dana

Penulis: Sri Juliati
Editor: Citra Agusta Putri Anastasia
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jamaah yang berpakaian ihram terlihat sedang tawaf mengelilingi Kakbah dengan mengikuti garis melingkar di pelataran Kakbah. Nasib dana calon jemaah haji yang telah menyetor hingga prosedur pengembalian dana setelah pemerintah resmi membatalkan keberangkatan haji 2021.

TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) resmi membatalkan pemberangkata calon jemaah haji tahun 2021.

Masih adanya pandemi Covi-19 serta menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa para calon jemaah haji menjadi alasan.

"Karena masih pandemi dan demi keselamatan jemaah, pemerintah memutuskan, tahun ini tidak memberangkatkan kembali jemaah haji Indonesia," kata Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta, Kamis (3/6/2021).

Dengan demikian, ini adalah kali kedua Indonesia tidak memberangkatkan jemaah untuk berhaji di Arab Saudi sejak 2020.

Baca juga: Ini Isi Surat Kedubes Arab Saudi kepada Ketua DPR Puan Maharani soal Ibadah Haji

Baca juga: Kementerian Agama: Belum Ada Negara yang Dapat Kuota Haji Dari Arab Saudi

Dengan dibatalkannya keberangkatan haji 2021, muncul banyak pertanyaan: bagaimana dengan nasib dana calon jemaah haji yang telah disetorkan, bahkan telah lunas?

Menag Yaqut menegaskan, dana haji aman.

Para calon jemaah haji, baik reguler maupun haji khusus, yang telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dapat menarik kembali uangnya.

"Setoran pelunasan Bipih dapat diminta kembali oleh jemaah haji yang bersangkutan."

"Jadi uang jemaah aman. Dana haji aman."

"Indonesia juga tidak punya utang atau tagihan yang belum dibayar terkait haji. Info soal tagihan yang belum dibayar itu hoaks," kata Yaqut.

Hal senada juga disampaikan Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu.

Anggito memastikan dana jemaah haji aman.

Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu, di Kantor Kementerian Agama, MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat sore (19/10/2018). (Tribunnews.com/ Rina Ayu)

"Perlu kami jelaskan, seluruh dana yang kami kelola aman. Dana tersebut saat ini ditempatkan di bank syariah," ungkap Anggito dikutip dari situs resmi Kemenag.

Ia menuturkan, BPKH akan melakukan pengelolaan dana jemaah haji yang batal berangkat sesuai dengan aturan yang terdapat dalam KMA No.660/2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji 1442 H/2021 M.

Anggito berterima kasih kepada masyarakat yang selama ini telah mempercayakan pengelolaan dana haji.

Ia menyampaikan, sebanyak 196.865 jemaah haji reguler sudah melakukan pelunasan pada 2020.

"Dana yang terkumpul dari setoran awal dan pelunasan adalah sebanyak Rp 7,5 triliun," kata Anggito.

Sementara itu, jemaah haji khusus yang telah melakukan pelunasan sebanyak 15.084 jemaah.

Dana setoran awal dan setoran lunas terkumpul sebesar 120,60 juta dolar AS.

"Tahun itu pula, ada 569 jemaah yang membatalkan, jadi hanya 0,7 persen. Kemudian yang haji khusus yang membatalkan hanya 162, jadi hanya 1 persen," katanya.

Cara Pengembalian Dana

Sementara itu, lewat akun Twitter-nya, Kemenag mengunggah prosedur atau cara bagi calon jemaah haji yang ingin mengajukan pengembalian setoran pelunasan.

"Calon jemaah haji batal berangkat tahun ini dan sudah melunasi Bipih, dapat mengajukan permohonan pengembalian setoran pelunasan," tulis akun @Kemenag_RI.

Selengkapnya, berikut prosedurnya permohonan pengembalian setoran pelunasan Bipih bagi calon jemaah haji yang batal berangkat:

1. Jemaah haji mengajukan permohonan pengembalian setoran pelunasan Bipih secara tertulis kepada Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota dengan menyertakan:

- Bukti asli setoran lunas Bipih dari Bank Penerima Setoran (BPS)

- Fotokopi buku tabungan (perlihatkan aslinya)

- Fotokopi e-KTP (perlihatkan aslinya)

- Nomor telepon jemaah haji

2. Petugas haji dan umrah melakukan verifikasi dan validasi dokumen permohonan jemaah haji, kemudian menginput data setelah semua dokumen dinyatakan lengkap dan sah.

3. Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota mengajukan permohonan pengembalian pelunasan Bipih kepada Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri (Diryan DN).

4. Diryan DN melakukan konfirmasi surat permohonan pengembalian setoran pelunasan jemaah haji pada aplikasi Siskohat.

5. Diryan DN atas nama Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah mengajukan setoran pelunasan pelunasan Bipih kepada BPKH.

6. Petugas melakukan verifikasi pengajuan pengembalian setoran pelunasan pelunasan Bipih.

7. Petugas menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai nilai pembayaran Bipih ke Bank Penerima Setoran (BPS) Bipih.

8. BPS Bipih menerima SPM dari BPKH, melakukan transfer dana pengembalian setoran ke rekening jemaah haji dan melakukan konfirmasi transfer pengembalian pada aplikasi Siskohat.

Seluruh tahapan ini berlangsung sembilan hari, dengan rincian:

- Dua hari di Kantor Kemenag Kabupaten/Kota

- Tiga hari di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah

- Dua hari di BPKH

- Dua hari proses transfer dari Bank Penerima Setoran (BPS) ke rekening jemaah

Melalui Kajian Mendalam

Sebelumnya, Menag Yaqut menegaskan, keputusan tidak memberangkatkan kembali jemaah haji ke Arab Saudi sudah melalui kajian mendalam.

Kemenag sudah melakukan pembahasan hal tersebut dengan Komisi VIII DPR pada 2 Juni 2021.

Kemenag juga telah melakukan serangkaian kajian bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, dan lembaga terkait lainnya.

"Semalam, kami juga sudah menggelar pertemuan virtual dengan MUI dan ormas-ormas Islam untuk membahas kebijakan ini."

"Alhamdulillah, semua memahami, dalam kondisi pandemi, keselamatan jiwa jemaah harus diutamakan.z'

"Ormas Islam juga akan ikut menyosialisasikan kebijakan ini untuk kepentingan jemaah," kata Menag.

Pemerintah menilai, pandemi Covid-19 yang masih melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi, dapat mengancam keselamatan jemaah.

Apalagi, jumlah kasus baru Covid-19 di Indonesia dan sebagian negara lain dalam sepekan terakhir masih belum menunjukkan penurunan yang signifikan.

Menurut Menag, agama mengajarkan, menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan.

Undang-Undang No 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah juga memberikan amanah kepada pemerintah untuk melaksanakan tugas perlindungan.

Karenanya, faktor kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah menjadi faktor utama.

"Ini semua menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan kebijakan."

"Apalagi, tahun ini juga ada penyebaran varian baru Covid-19 yang berkembang di sejumlah negara," jelas Menag.

"Penyelenggaraan haji merupakan kegiatan yang melibatkan banyak orang yang berpotensi menyebabkan kerumunan dan peningkatan kasus baru Covid-19," sambungnya.

Di sisi lain, pemerintah Arab Saudi, kata Menag, hingga Kamis (3/6/2021) juga belum mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji 2021.

"Ini bahkan tidak hanya Indonesia, tapi semua negara."

"Jadi sampai saat ini, belum ada negara yang mendapat kuota karena penandatanganan Nota Kesepahaman memang belum dilakukan," tegas Menag.

Kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji.

Sebab, berbagai persiapan yang sudah dilakukan belum dapat difinalisasi.

Mislanya, untuk layanan dalam negeri yaitu kontrak penerbangan, pelunasan Bipih, penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik.

Semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Arab Saudi.

Demikian pula penyiapan layanan di Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, belum bisa difinalisasi.

Pasalnya, belum ada kepastian besaran kuota, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya.

"Itu semua biasanya diatur dan disepakati dalam MoU antara negara pengirim jemaah dengan Saudi."

"Nah, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan," tuturnya.

"Padahal, dengan kuota 5 persen dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari," lanjutnya.

Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah dampak dari penerapan protokol kesehatan yang diberlakukan secara ketat oleh Arab Saudi karena situasi pandemi.

Pembatasan itu bahkan termasuk dalam pelaksanaan ibadah.

Berkaca pada penyelenggaraan umrah awal tahun ini, pembatasan itu antara lain larangan salat di Hijir Ismail dan berdoa di sekitar Multazam.

Shaf saat mendirikan salat juga diatur berjarak.

Ada juga pembatasan untuk salat jemaah, baik di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi.

"Pembatasan masa tinggal juga akan berdampak, utamanya pada penyelenggaraan Arbain."

"Karena masa tinggal di Madinah hanya tiga hari, maka dipastikan jemaah tidak bisa menjalani ibadah Arbain," terangnya.

Menag menambahkan, pembatalan keberangkatan jemaah ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia (WNI) baik dengan kuota haji Indonesia maupun kuota haji lainnya.

Jemaah haji, reguler dan haji khusus, yang telah melunasi Bipih tahun 2020 akan menjadi jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji pada 2022.

Menag menyampaikan simpati kepada seluruh jemaah haji yang terdampak pandemi Covid-19 tahun ini.

Untuk memudahkan akses informasi masyarakat, selain Siskohat, Kemenag juga telah menyiapkan posko komunikasi di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah.

Kemenag juga tengah menyiapkan WA Center yang akan dirilis dalam waktu dekat.

(Tribunnews.com/Sri Juliati)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini