Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Indonesia Asfinawati menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang beredar baru-baru ini berpotensi membuat tindakan merekam di persidangan dilarang hakim.
Selain itu, kata dia, RUU KUHP yang beredar baru-baru ini juga berpotensi dijadikan celah oleh mafia peradilan.
Terlebih, kata dia, selama ini dalam kasus-kasus sensitif seperti terkait politik, tuduhan makar, kebebasan beragama berkeyakinan sering pula hakim tidak senang ada rekaman.
"Ini potensial membuat rekaman dilarang oleh hakim," kata Asfinawati ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (7/6/2021).
Asfinawati megatakan pemidanaan merekam tidak ada dalam KUHP yang berlaku saat ini.
Baca juga: Berpotensi Kriminalisasi Profesi Advokat, LBH Desak Pemerintah Hapus Pasal 281 dan 282 RUU KUHP
Ia juga mengingatkan rekaman persidangan memiliki esensi keterbukaan.
"Justru di negara-negara maju, proses peradilan mulai interogasi di kepolisian hingga sidang pengadilan, wajib direkam," kata Asfinawati.
Diberitakan sebelumnya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mengatur ketentuan pidana terhadap proses perekaman dan publikasi dalam proses persidangan.
Berdasarkan dokumen RUU KUHP yang diterima Tribunnews.com, pada Bab VI berjudul Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan bagian kesatu yakni gangguan dan penyesatan proses peradilan diatur sejumlah ketentuan pada pasal 281.
Berikut bunyi pasal tersebut;
Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung:
a. tidak mematuhi perintah pengadilan yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan; atau