TRIBUNNEWS.COM - Aktivis perempuan dari Lembaga Dewi Keadilan Sulawesi Selatan, Lusia Palulungan ikut menanggapi polemik ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Lusia membenarkan, ketentuan living law dalam pasal 2 RKUHP berpotensi besar menimbulkan over-kriminalisasi.
Menurutnya, kaum perempuan menjadi satu di antara kelompok yang paling rentan mengalami kriminalisasi dari pasal ini.
Baca juga: Kelompok Rentan Kerap Alami Stigma di Meja Hijau, Pasal Living Law dalam RKUHP Dinilai Berbahaya
Baca juga: Soal Pasal 281 RKUHP, PWI Akan Minta ke Pemerintah Berikan Pengecualian Peraturan untuk Pers
"Kalau kita lihat potensinya untuk terjadi diskriminasi dan over-kriminalisasi ini sangat memungkinkan."
"Ketidakadilan gender seperti kekerasan, diskriminasi, dan marjinalisasi ini umumnya dialami oleh perempuan," kata Lusia dalam Diskusi Publik RKHUP yang diadakan LBHM pada Rabu (9/6/2021).
Lusia mengatakan, saat ini posisi perempuan masih sulit mendapatkan suara secara kolektif di masyarakat.
Untuk itu, Lusia khawatir akan terjadi kriminalisasi karena ketentuan pasal 2 dalam RKUHP bisa mempidanakan seseorang.
Lebih lanjut, Lusia mengatakan, banyak budaya dan adat di Indonesia yang mengandung unsur kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.
Contohnya, adat yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Lombok bernama Merari'.
Adapun, Merari' merupakan istilah dalam adat Sasak pernikahan yang artinya kawin lari.
Baca juga: Draf RKUHP: Jadi Gelandangan di Indonesia Bisa Kena Denda Rp1 Juta
Baca juga: Draf RKUHP: 4,5 Tahun Penjara Bagi Penghina Presiden Via Media Sosial
Menurut Lusia, adat tersebut sangat rentan menimbulkan kriminalisasi terhadap perempuan, khususnya anak.
"Budaya ini sangat berkaitan dengan pemaksaan perkawinan, yang mana bagian dari pemerkosaan atau pencabulan."
"Kalau ini dilakukan maka tentu saja akan muncul perkawinan anak dan kalau dilegitimasi dalam hukum yang hidup di masyarakat atau living law, maka ini akan sangat merugikan perempuan," ungkap Lusia.
Menurutnya, praktik-praktik tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Namun, apabila pasal living law disahkan, maka akan menjadi tantangan besar bagi perempuan dalam menghadapi kriminalisasi tersebut.
Contoh lainnya, Lusia menyebutkan kasus pemerkosaan anak yang dilakukan oleh tokoh masyarakat di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Baca juga: Diminta Lanjutkan Pembahasan RKUHP, Yasonna: Saya Tidak Bisa Ambil Inisiatif Sendiri
Baca juga: Indonesia Darurat Corona, Komnas HAM Minta Rencana Pengesahaan RKUHP Ditunda
Dalam kasus tersebut, kepala desa memberi solusi dengan menikahkan korban dengan pelaku pemerkosaannya.
Padahal, keluarga korban ingin menempuh jalur hukum untuk memberi pelajaran kepada pelaku.
Lusia mengatakan, kasus-kasus seperti ini yang membuat pasal living law berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
"Sebenarnya banyak sekali kasus-kasus seperti ini sulit ditangani karena kepala desa bersikukuh tidak mau ada pihak lain terlibat dalam penanganan kasus."
"Maka korban dan keluarganya pun sulit mendapatkan prlindungan hukum atas hak-haknya."
"Hukum yang ada seperti dianggap tiada dan kemudian dilemahkan dengan ketentuan di pasal 2 dalam RKUHP," ungkap Lusia.
Seperti diketahui, Pasal 2 ayat (1) RKUHP pada intinya menyatakan KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam ketentuan pidana.
Kemudian, Pasal 2 ayat (2) menyebut hukum yang hidup dalam masyarakat tetap berlaku di daerah hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini, sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
(Tribunnews.com/Maliana)