TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Draf RKHUP 2019 kembali digaungkan dan disosialisasikan ke berbagai kota sejak Februari hingga Juni 2021.
Sayangnya, agenda reformasi hukum pidana tersebut justru menuai berbagai polemik dari berbagai kalangan masyarakat karena beberapa pasal di dalamnya justru mengundang kontroversi.
Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ismail Hasani, mengatakan setidaknya terdapat 3 hal yang menjadi atensi penting dalam substansi RKUHP tersebut.
Pertama, kata dia, penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan lembaga negara.
"Dalam sejarah ketatanegaraan, MK telah mencabut pasal tentang penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP," kata Ismail, Rabu (9/6/2021).
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden dan DPR di RUU KUHP: Menkumham Anggap Lumrah, PSI Menolak
Melalui Putusan No. 013-022/PUU-IV/2006, MK menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Demikian pula dengan pasal penghinaan terhadap pemerintah, MK melalui putusannya No. Nomor 6/PUU-V/2007 memutus bahwa Pasal 154 dan Pasal 155 yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah telah bertentangan dengan UUD NRI 1945.
"Oleh karenanya, penghidupan kembali pasal penghinaan baik terhadap presiden-wakil presiden maupun pemerintah adalah suatu bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pembangkangan pula terhadap konstitusi," kata Ismail.
Terlebih, Ismail mengatakan penghidupan kembali pasal-pasal tersebut semakin melegitimasi adanya pembungkaman terhadap freedom of expression setiap warga negara.
"Bukan tidak mungkin, delik penghinaan terhadap penguasa hanya akan menghambat berbagai kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah," ujarnya.
Padahal, menurut Ismail, dalam negara yang demokratis, partisipasi publik menjadi kunci utama penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan, dan protes maupun kritik terhadap pemerintah adalah bagian dari partisipasi publik.
Kedua, ketentuan pidana bagi gelandangan.
"Pidana denda bagi setiap orang yang bergelandangan di jalan atau tempat umum seolah telah menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal memahami esensi perlindungan HAM yang termaktub dalam konstitusi," katanya.
Menuru Ismail, gelandangan sebagai individu yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah bahwa masih jauhnya tingkat kesejahteraan warga negaranya.