"Alih-alih hadir untuk memelihara gelandangan, pemerintah justru menjatuhkan pidana denda," katanya.
Lagi-lagi, Ismail mengatakan pemerintah abai terhadap amanah konstitusi bahwa negara harus hadir untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar sebagaimana terejawantahkan dalam Pasal 34 (1) UUD NRI 1945.
Ketiga, beberapa pasal dalam draft RKUHP merupakan bentuk intervensi yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu, misalnya terkait pasal perzinaan dan kumpul kebo.
"Betapapun zina dan kumpul kebo merupakan tindakan yang amoral, namun tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana," katanya.
Ismail mengatakan selama perbuatan tersebut dilakukan secara konsensual dan tidak ada unsur paksaan atau kekerasan, maka tidak seharusnya pemerintah masuk terlalu dalam hingga menjatuhi sanksi pidana.
"Terlebih, hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai ultimum remidium (upaya terakhir) dalam membenahi persoalan sosial manakala institusi sosial tidak lagi berfungsi," ujarnya.
Menurutnya perbuatan tercela yang seharusnya pemerintah hadir untuk melakukan intervensi adalah ketika perbuatan tersebut telah dilakukan dengan unsur paksaan dan menyebabkan kekerasan dalam hubungan seksual sehingga menimbulkan korban, misalnya terkait perkosaan, sehingga negara harus hadir untuk menjamin keadilan bagi setiap warga negaranya.
Atas berbagai hal tersebut, SETARA Institute menyatakan:
1. Menentang keras terhadap pasal-pasal RKHUP yang justru menciderai hak-hak konstitusional warga negara.
2. Mendesak agar DPR bersama Pemerintah meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara.
3. Mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP.