Soeharto kemudian turun tangan untuk menyelamatkan perusahaan, dengan memasukkan saudara tirinya, Probosutedjo, dan sejumlah perwira TNI.
Beberapa tahun kemudian Soeharto menunjuk menantunya, Indra Rukmana (suami Mbak Tutut) menjadi anggota dewan direksi. Namun, PT Hanurata tidak pernah menjadi cerita sukses.
Baca juga: Jusuf Wanandi Justru Berceramah Soal Soeharto pada Perwira Interogator
Gaji Rp 1 juta per bulan
Bagaimana Sudwikatmono bisa masuk dalam lingkaran bisnis Liem Sioe Liong?
Pada 1967, Soeharto meminta sepupunya itu ke rumahnya di Jalan Haji Agus Salim, Jakarta.
“Ia mengatakan sedang menunggu tamu pukul 17.00, dan ingin agar saya menemaninya. Saya mencatat nama tamu itu: Liem Sioe Liong,” kenang Soedwikatmono.
Pada pukul 16.45 Liem datang menumpang VW Beetle.
“Saya memandangnya dan berkata dalam hati, jadi ini orang yang mereka sebut cukong, wah kelihatan sekali. Dia botak, perutnya buncit, dan bicaranya sangat percaya diri. Oh dia pemberani,” ucap Dwi, panggilan akrab, Sudwikatmono.
Ketika Sudwikatmono menyambut, Om Liem sempat bertanya dari mana ia tahu namanya.
Rupanya Liem lupa bahwa Dwi pernah bertemu sebelumnya.
Pertemuan Soeharto dan Liem berlangsung sekira satu jam.
Ketika meninggalkan rumah Soeharto, Liem memberi kartu nama kepada Dwi dan meminta agar datang menemui dirinya esok hari pukul 10.00.
Keesokan harinya Sudwikatmono datang ke kantor Liem, Bank Central Asia (BCA), di kawasan Jl Asemka, Jakarta.
Dalam kesempatan itu Liem mengajak Soedwikatmono bergabung, atas usulan Soeharto.
“Saya ditawari gaji bulanan Rp 1 juta dan saham dalam perusahaan,” kenang Soedwikatmono. Tentu saja tawaran itu mengejutkan Dwi. Pada saat itu Dwi masih bekerja di PT Jaya Bhakti, gajinya Rp 400 (Empat Ratus Rupiah) per bulan, ibarat bumi dan langit dengan gaji yang ditawarkan Liem Sioe Liong. Namun keterkejutan Dwi disalahartikan oleh pihak Liem.
Penasihat hukum Liem sempat menghentikan Dwi ketika meninggalkan lokasi pertemuan.
Sang penasihat hukum mengatakan tawaran gaji itu bisa dirundingkan manakala dianggap kurang banyak.
“Mereka menawari saya Rp 1 juta! Saat itu gaji saya di jaya Bhakti hanya Rp 400 per bulan. Sewa kamar saya di Jalan Lengkeng, Menteng, Rp 150. Rasanya seperti mimpi saja,” ujar Dwi terkekeh.
Soedwikatmono mengaku semalam tidak bisa tidur dan berbaring di ranjang dengan kepala penuh pikiran. Ia kemudian memutuskan menemui Soeharto keesokan paginya untuk konsultasi.