News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Unik

Foto Terpidana Mati Usman dan Harun Terpajang Khusus di Rumah Mochtar Kusuma-atmadja

Penulis: Febby Mahendra
Editor: cecep burdansyah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prajurit TNI AL yang tergabung dalam Satuan Tugas Maritime Task Force (Satgas MTF) TNI Konga XXVIII-J/UNIFIL yang dipimpin Kolonel Laut (P) Alan Dahlan, S.H., M.Si. sebagai Dansatgas sekaligus Komandan KRI Usman Harun-359 tiba di Tanah Air dalam rangka perjalanan dari Lebanon menuju Indonesia dan singgah di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatera Utara, Jumat (26/10/2018). (Puspen TNI)

TRIBUNNEWS.COM - SEBANYAK dua orang anggota Korps Komando Operasi (KKO) Angkatan Laut, sekarang menjadi  Korps Marinir TNI Al, bernama Usman dan Harun terancam hukuman mati di Singapura.

Mereka ditangkap setelah mengebom Mac Donald House, di kawasan Jl Orchard, jantung negara kota tersebut pada 10 Maret 1965.

Usman dan Harun melaksanakan tugas tersebut terkait Operasi Dwikora yang diperintahkan Presiden Soekarno (Bung Karno) untuk menggagalkan terbentuknya Negara Malaysia.

Bung Karno mengirim ribuan sukarelawan untuk bertempur di perbatasan Kalimantan dan Serawak.

Saat itu berbagai operasi intelijen juga dilakukan di Selat Malaka dan Singapura. Usman dan Harun, sebagai anggota pasukan elite TNI AL, dapat menyusup ke Singapura dan meledakkan gedung perkatoran yang digunakan Hongkong and Shanghai Bank.

Ledakan mengakibatkan gedung tersebut beserta bangunan di sekitarnya hancur berantakan. Sebanyak tiga orang tewas, 33 orang luka parah, dan beberapa mobil hancur.

Usman dan Harun gagal melarikan diri karena kapal motor yang mereka rampas mogok di tengah laut. Mereka ditangkap patroli Singapura, dipenjara, diadlili, dan terancam hukuman mati.

Jenderal TNI Soeharto yang mengambil alih pemerintahan dari Bung Karno kemudian berupaya membebaskan Usman dan Harun. Dr Mochtar Kusuma-atmadja SH LLM bersama tiga orang lainnya ditunjuk sebagai penasihat hukum Usman dan Harun.

Mochtar Kusuma-atmadja, pakar hukum laut pertama di Indonesia dan mantan Menteri Luar Negeri RI di era Presiden Soeharto, berpulang pada Minggu (6/6/2021), di usia 92 tahun.

Selain menjabat Menteri Luar Negeri selama dua periode, Mochtar juga pernah menjadi Menteri Kehakiman (1974-1978).

Sejumlah kisah unik terjadi dalam upaya membebaskan kedua terpidana mati tersebut. Tim penasihat hukum kesulitan melakukan pembelaan maksimal karena di depan majelis hakim Usman dan Harun mengakui terus terang perbuatannya.

Pada 1968, pengadilan di Singapura menjatuhkan hukuman gantung kepada mereka. Karena Singapura merupakan anggota Negara Persemakmuran, upaya banding diajukan ke pengadilan di London, Inggris.

Hasilnya, permohonan banding ditolak. Begitu pula upaya mengajukan grasi (pengampunan)  kepada Presiden Singapura, Yusuf bin Ishak, pada 1 Juni 1968, juga kandas.

Selepas subuh, pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun, digiring ke tiang gantungan. Tak lama kemudian Presiden Soeharto memberikan gelar pahlawan nasional kepada dua prajurit yang telah menjadi korban politik pemerintahan Orde Lama tersebut.

Sebuah pesawat  Hercules diterbangkan untuk menjemput jenazah Usman dan Harun, selain itu pangkat mereka dinaikkan satu tingkat secara anumerta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden, pada 17 Oktober 1968 Usman dan Harun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Sebagai kenang-kenangan kepada Mochtar sebagai penasihat hukum dua terpidana, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura memberikan foto Usman dan Harun. Mereka dipotret secara terpisah ketika masih meringkuk di dalam penjara Singapura.

Pemotretan dilakukan secara diam-diam sehingga terekam kondisinya secara natural. Terlihat Usman menatap jauh ke depan, seperti orang melamun tapi wajahnya tersenyum. Sedangkan Harun tertunduk murung, mungkin memikirkan hukuman mati yang harus dijalani.

Baca juga: Terancam Jiwanya, Mochtar Kusuma-atmadja Dikawal Prajurit Seskoad hingga Bandara

Tabur bunga Lee Kuan Yew

Rupanya foto Usman dan Harun tersebut mendapat perhatian  khusus dari Ny Ida, panggilan akrab istri Mochtar.

Kisah Usman dan Harun membuat perempuan bernama asli Ny Siti Khodidjah tersebut terharu dan trenyuh.

“Foto mereka itu dipajang oleh ibu di dinding rumah kami secara khusus. Sampai hari ini, foto Usman dan Harun masih tetap di situ, sehingga betul-betul menjadi kenang-kenangan yang tidak terlupakan,” ujar Askari Kusumaatmaja, anak bungsu Mochtar, dalam buku ‘Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja’, penyusun Nina Pane, Penerbit Buku Kompas, Februari 2015.

Hukuman mati terhadap Usman dan Harun membawa luka dalam hubungan Indonesia-Singapura. Namun ketegangan mulai mereda ketika Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, pada 1973 berkunjung ke Indonesia.

Lee berziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata dan menabur bunga di atas pusara Usman dan Harun, bukan sekadar meletakkan karangan bunga di kaki tugu sebagaimana tamu kenegaraan lainnya.

Namun uniknya Singapura mengajukan protes ketika TNI AL menjadikan Usman dan Harun sebagai nama kapal perang yang baru. Kapal perang berjenis multi-role light frigate itu berukuran 90 meter, dibeli dari Inggris.

Menteri Luar Negeri Singapura, K Shanmugam, mengajukan protes resmi kepada Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa.

Pemerintah Singapura menyebut Usman dan Harun sebagai teroris yang dihukum mati, sehingga penggunaan nama mereka di kapal perang RI (KRI) akan melukai perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban pengeboman.

Protes tersebut dianggap sebuah anomali karena seharusnya masalah Usman-Harun sudah selasai pada 28 Mei 1973, ketika Lee Kuan Yew menabur bunga di pusara dua prajurit TNI AL itu.

Tindakan simbolis Lee tersebut rupanya tidak otomatis diikuti oleh pemimpin Singapura berikutnya, Perdana Menteri Lee Hsien Long, putra Lee Kuan Yew.

Alhasil pemerintah Indonesia tidak menggubris protes tersebut. Alasannya, pemilihan nama itu sudah melewati diskusi yang panjang dan disahkan pada 12 Desember 2012.

Bagi Indonesia, Usman dan Harun adalah pejuang yang mengharumkan nama bangsa. J

enderal TNI Moeldoko, saat itu menjabat Panglima TNI, mengatakan Usman dan Harun bukan teroris.

“Mereka adalah aktor negara, bukan aktor nonstate. Mereka adalah marinir,” ujar Moeldoko. (*)

*Dikutip dalam buku ‘Rekam Jejak Kebangsaan Mochtar Kusuma-atmadja’, disusun Nina Pane, Penerbit Buku Kompas, Februari 2015.  

Baca juga: Mochtar Kusuma-atmadja Menyingkir ke AS Seusai Dituduh Menghina Bung Karno

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini