“Saya melihat Pak Harto sangat marah, sebab yang menyampaikan saran justru seorang yang pada masa itu paling dia percayai,” ujar Sudomo.
Pada sisi lain Sudomo sebenarnya membela sikap Benny Moerdani. “Memang intelijen harus berani mengemukakan fakta yang sebenarnya, meski yang tidak enak sekalipun…”
Setelah menyampaikan dua hal sensitif tersebut kepada Soeharto, Benny Moerdani mulai merasa bakal terpental dari pemerintahan Orde Baru.
“Setelah mengetahui Pak Harto marah, Benny menemui saya sambil mengatakan dia sudah pasti tidak akan dimasukkan lagi dalam kabinet,” kata Sudomo.
Benny bahkan berani bertaruh dengan Sudomo mengenai nasib kariernya.
“Benny datang sambil bilang, wah Bapakke kethoke nesu banget (Bapaknya kelihatannya sangat marah). Jadi saya pasti sudah selesai, hanya akan sampai di sini,” sambung Sudomo.
Baca juga: Terancam Jiwanya, Mochtar Kusuma-atmadja Dikawal Prajurit Seskoad hingga Bandara
Cerita Jenderal Park Chung-hee
Apakah karier Benny Moedani benar-benar tamat pada saat itu? Ternyata tidak.
Sudomo kemudian melanjutkan kisah unik berikutnya. Setelah Sidang Umum MPR 1988 selesai dan Soeharto terpilih kembali sebagai Presiden RI yang didampingi Wakil Presiden Sudharmono, Sudomo menghadap sang presiden.
Sudomo bermaksud merayu Soeharto agar tidak menyingkirkan begitu saja Benny Moerdani karena dikhawatirkan akan berdampak besar, mengingat pengaruh Benny yang masih begitu kuat di kalangan TNI.
Perwira tinggi TNI AL itu kemudian menyanpaikan sebuah cerita kepada Soeharto.
“Bapak masih ingat nasib Presiden Republik Korea (Korea Selatan), Jenderal Park Chung-hee,” tanya Sudomo.
“Ada apa dengan dia,” jawab Soeharto. “Bapak ingat, karena berselisih pendapat, Jenderal Park kemudian diundang makan oleh bekas kepala intelnya. Mungkin dia (Park) menduga anak buahnya tersebut akan meminta maaf, ternyata Jenderal Park langsung di-doorr…”
Ketika mengutip kisah tersebut Sudomo sama sekali tidak menyebut nama Benny Moerdani.