TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy Satyo Purwanto menyesalkan kurang seriusnya penanganan pemerintah dalam memberantas mafia tanah di Indonesia khususnya di wilayah Pantura Kabupaten Tangerang.
Menurut pria yang akrab disapa Komeng ini, jangan sampai karena mandeknya penanganan mafia tanah tersebut, membuat masyarakat menganggap komitmennya pemerintah tersebut hanya sekedar lip service.
“Saya prihatin perjuangan masyarakat khususnya di wilayah Pantura ini sudah berlangsung lama dan telah mengadu ke berbagai instansi hingga ke Kemenkopolhukam dan DPR namun belum ada hasilnya,” ujar mantan Sekjen Prodem ini, usai menjadi pembicara dalam acara Diskusi Publik dengan tema ‘Mengungkap Akal Bulus Mafia Tanah Caplok Hak Atas Bidang Masyarakat’ yang digelar Forum Diskusi Wartawan Tangerang (FDWT) secara daring, Jumat (2/7/2021).
Komeng menjelaskan karena kasus mafia tanah ini merupakan extraordinary crime maka dalam membutuhkan penanganan khusus dan tidak bisa diselesaikan secara konvensional. Terlebih dalam melaksanakan kegiatan mafia tanah ini bisa dipastikan akan selalu berkolaborasi dengan pihak-pihak berwenang.
“Kasus mafia tanah tidak bisa dilakukan hanya sendiri dan pastinya melibatkan instansi-instansi di pemerintahan. Karena tidak mungkin akan muncul berbagai produk seperti NIB (Nomor Induk Bidang) dan sertifikat tanah jika sebelumnya tidak melibatkan instansi-instansi terkait,” ujar Komeng.
“Persoalan mafia tanah sangat politis karena bersinggungan atau memiliki anasir dengan beberapa kementerian dan instansi lainnya. Kasus mafia tanah harus ditangani lintas sektoral. Bahkan kalau perlu ada pengadilan tersendiri dengan hakim dan jaksa khusus,” sambungnya.
Hal yang sama juga diutarakan pengamat kebijakan publik Adib Miftahul.
Menurut Adib penanganan kasus mafia tanah ini harus dilakukan pendekatan politis juga.
Baca juga: Marak Mafia Tanah dalam Proyek Pembangunan, Komisi II: Jangan Begitu Bos, Kasihan Pak Jokowi
“Ke depan saya sarankan kepada para korban mafia tanah khususnya yang ada di wilayah Pantura Kabupaten jangan memilih lagi pemimpin maupun anggota legislatif yang datang hanya saat kampanye dan setelah jadi mereka tidak mau membela masyarakatnya,” saran Adib.
Bahkan Adib pun mengatakan jika Presiden Joko Widodo tidak mampu mengatasi kasus mafia tanah ini maka sebutan sebagai pembela tanah rakyat dengan program Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL) akan tidak akan berarti apa-apa.
“Sebenarnya jika serius dengan instruksi langsungnya kasus mafia tanah ini harus bisa dilakukan. Kenapa memberantas preman langsung dilakukan secara masif ini memberantas mafia tanah seperti jalan ditempat,” kata Adib.
“Jika pejabat yang ditunjuk tak mampu mengatasi kasus mafia tanah ini lebih baik dipecat saja,” imbuh pria yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif kajian Politik Nasional ini.
Sementara itu, aktivis senior 98 Mohammad Jumhur Hidayat menyebutkan Indonesia dalam penanganan kasus mafia tanah ini seharusnya mengikuti negara-negara lain.
Jumhur mengatakan di berbagai negara dalam penanganan kasus tanah ini, negara membentuk Panitia Landreform yang langsung diketuai oleh presiden atau perdana menteri.
“Tak mungkin jika hanya ditangani oleh satu kementerian atau instansi karena akan bersinggungan dengan kementerian dan instansi lainnya yang tentunya sejajar,” jelas Jumhur yang merupakan mantan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI pada zaman pemerintahan SBY ini.
Diketahui, dalam diskusi ini, menurut perwakilan korban, Heri Hermawan, perampasan tanah di wilayah kabupaten Tangerang dilakukan secara masif dan sistemis. Sekira 900 hektar atau 9 juta meter lebih tanah warga di empat kecamatan, sudah beralih nomor NIB nya.
Masyarakat, kata Heri, sudah sering melakukan audiensi dengan pihak terkait, seperti mulai dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang, BPN Kanwil Banten hingga DPR RI. Namun lanjut Heri, sampai saat ini terkesan mandek, padahal kasus ini sudah 1 tahun lebih lamanya.