TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai hukuman yang diterima mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo harus maksimal.
Lantaran terdakwa perkara suap perizinan ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur itu melakukan tindak pidana korupsi di saat pandemi Covid-19.
"Kejahatan tersebut dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Jadi, bagi ICW, Edhy sangat pantas untuk diganjar vonis maksimal, setidaknya 20 tahun penjara," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Tribunnews.com, Jumat (16/7/2021).
Selain itu, Kurnia mengatakan bahwa saat melakukan praktik korupsi Edhy sedang mengemban status sebagai pejabat publik, sehingga berdasarkan Pasal 52 KUHP seharusnya dikenakan pemberatan hukuman.
Baca juga: Sempat Ngaku Siap Dihukum Mati, Kini Edhy Kecewa Divonis 5 Tahun Penjara dan Pertimbangkan Banding
Oleh karenanya, ICW menilai putusan Edhy Prabowo yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggambarkan kepada publik betapa lembaga kekuasaan kehakiman dan penegak hukum benar-benar tidak lagi bisa diandalkan untuk memperjuangkan keadilan.
Sebab, kata Kurnia, baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun majelis hakim, sama-sama memiliki keinginan untuk memperingan hukuman koruptor.
"Sebagaimana diketahui, hukuman 5 tahun penjara itu serupa dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK. Pencabutan hak politik itu pun terasa amat ringan, mestinya pidana tambahan itu dapat diperberat hingga 5 tahun lamanya," kata dia.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah memvonis Edhy Prabowo 5 tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan dalam kasus suap ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur.
Hakim menyatakan Edhy Prabowo bersama bawahannya terbukti menerima suap 77 ribu dolar AS dan Rp24,6 miliar untuk mempermudah pengajuan ekspor benur.
“Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” ucap Ketua Majelis Hakim Albertus Usada dalam sidang yang disiarkan daring, Kamis (15/7/2021).
Selain pidana pokok, hakim mewajibkan Edhy Prabowo membayar uang pengganti sebanyak 77 ribu dolar AS dan Rp9,6 miliar.
Hakim juga mencabut hak politik Edhy Prabowo untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun setelah menjalani pidana pokok.
Menurut hakim, Edhy tidak sendirian menikmati uang suap ekspor benur, melainkan juga dipakai oleh para bawahannya.
Itu yang menyebabkan jumlah uang yang harus dibayarkan Edhy Prabowo tidak sama dengan total uang suap yang diterima.
Adapun bawahannya yang dinyatakan turut menikmati duit haram itu adalah dua staf khusus Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan, Andreau Misanta Pribadi dan Safri; sekretaris pribadi, Amiril Mukminin; pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi.
Majelis hakim menimbang hal yang memberatkan, Edhy Prabowo dianggap tidak mendukung program pemberantasan korupsi, tidak memberikan teladan yang baik dan menikmati uang hasil korupsinya.
Sementara pertimbangan yang meringankan, Edhy dianggap berlaku sopan, belum pernah dihukum dan harta hasil korupsi telah disita.