Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - 75 pegawai nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bakal menelusuri potensi pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pimpinannya.
Hal ini sejurus dengan temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait maladministrasi pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum nonaktif KPK, Rasamala Aritonang, yang mewakili 75 pegawai menyebut mereka akan berupaya menempuh jalur hukum untuk menyelisik potensi tersebut.
"Ada tiga kata kunci pada temuan yang kami anggap serius, malaadministrasi; pelanggaran prosedural; dan yang amat serius adalah penyalahgunaan wewenang," ucap Rasamala dalam jumpa pers virtual, Rabu (21/7/2021).
"Terkait dengan tiga kata kunci ini, kami mempertimbangkan upaya hukum lebih lanjut untuk mendorong adanya pemeriksaan terkait motif dilakukannya pelanggaran serius tersebut," sambungnya.
Baca juga: KPK Lepas 18 Orang Peserta Diklat Bela Negara
Motif yang dimaksud oleh Rasamala dilakukan oleh sejumlah pihak terkait TWK ini, yaitu Ketua KPK Firli Bahuri, Kepala BKN Bima Haria Wibisana, Kepala LAN Adi Suryanto, Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly, serta Menpan RB Tjahjo Kumolo.
Ia memerinci, motif pertama yakni, apa motif Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Perundangan Kemenkumham menandatangani berita acara yang rapatnya tidak mereka hadiri, melainkan dihadiri oleh para pimpinan lembaga.
Kedua, apa motif para pimpinan lembaga dalam hal ini Ketua KPK, Kepala BKN, Kemenpan RB, Kepala LAN, dan Menkumham, yang tidak mau menandatangani rapat yang mereka hadiri.
Ketiga, apa motif Kepala BKN mengajukan diri untuk melaksanakan asesmen TWK, padahal mengetahui lembaganya tidak berkompeten, bahkan tidak memiliki instrumen dalam melaksanakannya.
Keempat, terkait dokumen kontrak yang tanggalnya dengan sengaja dibuat mundur atau backdate.
"Motif ini perlu didalami serius apa tujuannya dan unsur kesengajaan di dalamnya. Pendalaman lebih lanjut ini penting untuk melihat adanya indikasi dan berbagai kemungkinan, termasuk potensi pelanggaran pidana," tutur Rasamala.
Bagi dia, sejumlah upaya akan dipertimbangkan menyikapi soal permasalahan TWK ini, salah satunya ialah pelanggaran etik yang terjadi.
"Kalau etik, tentu untuk KPK, pimpinan dan pejabat di bawahnya, ada dewas yang berdasarkan UU, forum untuk menguji apakah tindakan ini melanggar etik atau tidak melanggar etik. Itu salah satu kemungkinannya. Dan kami akan pertimbangkan juga dewas ada atau tidak kemampuan terkait pengaduan ini, nanti perlu kami review juga dengan mempelajari peristiwa yang kami laporkan," jelas Rasamala.