Begitu juga terkait ranah pelanggaran wewenang yang menurut Rasamala hal itu pula akan dipertimbangkan untuk ditindaklanjuti.
"Karena disebut di dalamnya ada pelanggaran wewenang, maka ini adalah area dari hukum administrasi, maka kanal hukumnya forum penyelesaiannya lewat pengadilan administrasi negara. Nanti kami pelajari dulu dan kami lihat berdasarkan fakta dan bukti kemungkinan melakukan upaya itu," ujarnya.
Potensi pidana terkait penyalahgunaan kewenangan itu pun turut menjadi perhatian para pegawai.
Salah satu yang menjadi indikasi ialah tanggal mundur dalam penandatanganan kontrak KPK dengan BKN terkait TWK.
"Kalau nanti ditemukan dugaan yang kuat berdasarkan bukti tersebut tentu yang punya kewenangan proses itu pihak kepolisian," kata dia.
Begitu pula bila kemungkinan bila penyalahgunaan kewenangan itu kemudian terkait dengan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan kasus di KPK.
Diketahui bahwa sebagian besar dari 75 pegawai yang tak lulus TWK itu merupakan penyidik dan penyelidik KPK.
Mereka dibebastugaskan oleh Ketua KPK Firli Bahuri buntut hasil TWK itu.
"Ini ada hubungannya juga enggak sama pelaksanaan tugas mereka. Apabila nanti menghambat tugas mereka, sesuai UU menghambat tugas penyidikan penyelidikan itu juga ada norma pidananya nanti. Kita lihat kemungkinannya, karena yang bisa memproses KPK sendiri atau pihak kepolisian," kata dia.
Pernyataan ini pun diamini oleh mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko.
Ia masuk dalam daftar 75 pegawai hanya dua minggu jelang pensiun dari KPK.
"Kebetulan yang 75 pegawai sebagian besar penyidik dan penyelidik, dan yang 75 itu sudah berdiskusi langkah-langkah yang mereka lakukan secara internal. Ada penghambatan-penghambatan itu mungkin bisa nanti dikontruksikan untuk dimasukkan dalam Pasal 21 (menghalangi penyidikan)," ujar Sujanarko.