TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan adanya dugaan maladministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Dugaan maladministrasi itu ditemukan Ombudsman mulai dari rangkaian proses pembentukan kebijakan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN; proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN; dan tahap penetapan hasil asesmen tes wawancara kebangsaan.
Dalam proses pembentukan kebijakan, Ombudsman menemukan adanya penyisipan aturan, penyimpangan prosedur hingga penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan aturan untuk menggelar TWK sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng menjelaskan, proses penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN dimulai sejak Agustus 2020 dan dilanjutkan pada tahap harmonisasi pada akhir Desember 2020 hingga Januari 2021.
Saat itu, klausul TWK belum muncul.
Klausul tersebut baru muncul pada 25 Januari 2021 atau sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir.
"Ombudsman Republik Indonesia berpendapat, proses panjang sebelumnya dan harmonisasi empat hingga lima kali tidak muncul klausul TWK, sekaligus mengutip notulensi 5 Januari 2021. Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat, pemunculan ayat baru. Munculnya di bulan terakhir proses ini," ucap Robert dalam jumpa pers virtual, Rabu (21/7/2021).
Robert mengatakan, Ombudsman juga menemukan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan Perkom 1/2021.
Baca juga: Ombudsman RI Temukan Maladministrasi dalam TWK Pegawai KPK
Dikatakan, berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018, harmonisasi selayaknya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrast dan panja.
Hal ini dipatuhi hingga harmonisasi pada Desember 2021.
Namun, dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021, yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga.
"Ada lima pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham dan Menpan RB. Sesuatu yang luar biasa," kata Robert.
Menjadi persoalan, kata Robert, Berita Acara Rapat Harmonisasi itu justru ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat, seperti Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.
"Sekali lagi yang hadir pimpinan, tapi yang tanda tangan berita acara adalah yang tidak hadir, yakni level JPT. Ombudsman Republik Indonesia berpendapat ada penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang. Kehadiran Pimpinan dan kemudian yang seharusnya dikoordiansikan Dirjen tentu tidak terlaksana, karena Dirjen tidak mungkin memimpin harmonisasi yang pesertanya adalah atasannya dan penyalahgunaan wewenang karena tanda tangan justru dilakukan oleh yang tidak hadir, yakni Kabiro Hukum dan Direktur pengundangan," papar Robert.
Lebih jauh, Robert mengatakan, Peraturan KPK Nomor 12 Tahun 2018 menyatakan, penyelarasan produk hukum peraturan wajib memperhatikan aspirasi atau pendapat pegawai KPK.
Untuk mendapatkan aspirasi, rancangan ini wajib disebarluaskan dalam portal KPK.
Namun, Ombudsman menemukan penyebarluasan informasi Perkom Nomor 1 Tahun 2021 adalah pada 16 November 2020.
"Jadi ini masih di tahap awal adminsiasi, hasil pembahasan harmonisasi hingga pengundangan tidak lagi disebarluaskan di portal internal KPK, hingga dengan demikian tidak ada mekanisme pagawai KPK untuk mengetahui apalagi menyampaikan pendapat, Mungkin dari gossip atau informal tahu, tapi tidak resmi dan tidak ditempatkan di portal internal KPK selama proses yang sangat penting. Tidak ada kesempatan. Ombudsman Republik Indonesia berpendapat terjadi penyimpangan prosedur karena KPK tidak menyebarluaskan setelah dilakukan proses perubahan enam kali rapat," paparnya.
Atas dasar itu, Ombudsman menyatan Pimpinan dan Sekjen KPK melakukan tindakan korektif.
Salah satunya dengan menjelaskan kepada pegawai KPK mengenai konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya.
"Dalam bentuk informasi atau dokumen sah," tegas Robert.