TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan bahwa perjalanan panjang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang digagas sejak 2012, hendaknya menjadi concern dan komitmen semua pihak.
Terutama para legislator untuk segera membahas dan menyetujui beleid itu menjadi undang-undang (UU).
"Kita harapkan pembahasan RUU PKS yang kini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 merupakan babak akhir untuk menjawab penantian panjang publik akan adanya undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak di negeri ini," tegasnya saat menyampaikan pengantar dalam diskusi bertajuk "Mengawal RUU PKS dalam Prolegnas 2021" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, di Jakarta, Rabu (21/7/2021).
Menurut politikus Partai NasDem itu, perjalanan panjang RUU PKS yang penuh dengan tarik ulur dalam proses legislasi melalui ruang politik di Senayan, memancarkan banyak tafsir dan pertanyaan, baik terkait teknis maupun substansiRUU tersebut.
"Itu merupakan sebuah dinamika politik yang wajar, dan kini saatnya bagi kita semua untuk menyatukan persepsi dan memantapkan tekad guna menjadikan RUU itu sebagai hukum positif di Indonesia," katanya.
Baca juga: DPD RI Sahkan RUU Tentang Pelayanan Publik Sebagai RUU Inisiatif
Adanya RUU PKS, kata Legislator Partai NasDem yang akrab disapa Rerie, merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk menangkal terjadinya kekerasan seksual di negeri ini.
"Proses pembahasan RUU itu perlu dikawal agar berjalan lancar sehingga dapat segera disahkan menjadi UU dalam tahun ini," pintanya.
Upaya-upaya untuk membangun kesamaan persepsi, kata Rerie, harus terus dilakukan secara konsisten bahwa perlindungan warga negara dari ancaman kekerasan seksual merupakan tanggung jawab bersama, tanggung jawab semua kekuatan sosial politik.
"Political will saja tidak cukup. Perlu perubahan yang radikal dalam pola pikir dan pola pandang untuk meniadakan bias gender yang dapat mengganjal proses pembahasan RUU itu," tandas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu.
Diskusi mingguan yang digelar setiap Rabu itu, dalam edisi ke-65 kali ini menghadirkan empat narasumber yakni Taufik Basari (anggota DPR RI), Yuniati Chuzaifah (aktivis gender dan HAM), Anggia Emarini (Ketua Umum PP Fatayat NU), serta Khotimun Susanti (Ketua Bidang Sosial Kemasyarakatan PP Nasyiatul Aisyiyah).
Menurut Taufik Basari, dalam empat kali rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panja RUU PKS dengan berbagai stakeholders, problem terbesar yang muncul adalah kekeliruan paradigma berpikir serta kesalahpahaman dalam melihat RUU tersebut.
"Kita harus membersihkan diri dari kubang kesalahpahaman itu agar RUU ini tidak menjadi korban dari pertarungan berbagai pemikiran dan tuduhan tak berdasar. Semua pihak hendaknya beradu argumentasi berlandaskan fakta, data, dan pengalaman empirik selama ini, jangan bersandar pada interpretasi dan tuduhan abstrak yang mengawang-awang," tegasnya.
Pembicara lainnya, Yuniyanti Chuzaifah, menyoroti tentang pentingnya aturan perundangan yang melindungi warga negara dari ancaman kekerasan seksual, terutama perempuan dan anak-anak.
"Anak laki-laki atau perempuan rentan terhadap kekerasan seksual, apalagi di era disrupsi teknologi digital dewasa ini, kekerasan seksual tidak hanya bisa terjadi secara konvensional tetapi juga bisa secara daring dalam bermacam bentuk," katanya mengingatkan.