TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 tahun 20213 diubah menjadi PP Nomor 75 tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia(UI) menuai kritikan luas.
Pasalnya, PP yang baru memungkinkan rektor UI menjadi komisaris di BUMN, sementara dalam PP yang lama rektor dilarang menjabat di BUMN atau BUMD.
Perubahan PP tentang Statuta UI melalui sebuah proses yang panjang hingga akhirnya diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga: Mundurnya Rektor UI dari Wakil Komisaris BRI Diharap Jadi Penegasan Sikap UI Kembali ke Pendidikan
Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI, Saleh Husin menjelaskan proses revisi PP itu sudah berlangsung sejak 2019.
Proses itu dimulai dengan menampung usulan dari empat organisasi di UI, yakni Majelis Wali Amanat UI, Dewan Guru Besar (DGB), Senat Akademik (SA), dan Eksekutif/Rektorat.
Masing-masing organisasi mengusulkan substansi perubahan Statuta UI.
Masukan dari setiap organisasi itu kemudian dibahas oleh tim kecil yang dibentuk oleh rektor untuk menyinkronisasi substansi perubahan dalam daftar inventarisasi masalah.
Tim kecil ini bekerja selama dua bulan.
“Kalau tidak salah, pada April 2020 dibentuk tim kecil, tetapi seingat saya pada Maret 2020 atas inisiatif DGB, tim kecil ini sudah mulai rapat. Di tim kecil itu niatnya untuk memformulasikan masukan setiap organ, tetapi tidak pernah match. Akhirnya mentah dan balik ke masing-masing organ untuk dibahas lagi dan penambahan masukan," ujar Saleh, dalam keterangan yang diterima, Jumat (23/7/2021).
Baca juga: Apresiasi Mundurnya Rektor UI dari Komisaris BRI, Ade Armando Desak Pemerintah Revisi Statuta UI
Tim yang bekerja dua bulan itu bubar pada Juni 2020 dan pembahasan pun sempat vakum.
Namun, akhirnya dibentuk tim kecil kedua pada September 2020 yang berisi 12 orang yang merupakan perwakilan dari masing-masing organisasi.
Mereka adalah Ari Kuncoro, Agustin Kusumayati, dan Abdul Haris yang mewakili Eksekutif. Lalu, Bambang PS Brodjonegoro, Yosi Kusuma Eriwati, dan Fredy Buhama Lumban Tobing mewakili MWA; Harkristuti Hakrisnowo, Lindawati Gani, dan Ine Minara S Ruky (DGB); serta Nachrowi Djalal Nachrowi, Frieda Maryam Manungsong Siahaan, dan Surastini Fitriasih (SA).
"Setelah itu, berproseslah mereka (tim kecil kedua), tetapi tidak juga menghasilkan sinkronisasi dan kesimpulan. Tim kedua ini akhirnya bubar karena hanya diminta bekerja selama dua bulan," ucap Saleh Husin yang juga mantan Menteri Perindustrian itu.
Proses pembahasan usulan revisi berlanjut di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).