Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Korban korupsi bantuan sosial (bansos) COVID-19 yang diwakili oleh tim advokasi secara resmi mendaftarkan upaya hukum kasasi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (26/7/2021) hari ini.
Upaya hukum tersebut diajukan terhadap Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta perkara nomor: 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN.JKT.Pst yang justru menolak permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam pemeriksaan perkara korupsi mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
"Bagi Tim Advokasi, penolakan majelis hakim Tipikor tidak hanya melanggar ketentuan hukum tetapi juga kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi dan perlindungan Hak Asasi Manusia," kata anggota tim advokasi Kurnia Ramadhana lewat keterangan tertulis, Senin (26/7/2021).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu memaparkan, setidaknya ada dua argumentasi yang mendasari langkah mendaftarkan kasasi.
Baca juga: Korban Korupsi Bansos Covid-19 Ajukan Kasasi
Pertama, dikatakannya, hakim menyesatkan penafsiran Pasal 98 KUHAP dengan menyatakan permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Kurnia, masalahnya penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam KUHAP hanya dapat diajukan ke pengadilan yang menyidangkan pokok perkara pidana.
"Jadi, justru aneh, sebab, perkara pidana, khususnya korupsi, yang waktu dan tempat kejadiannya di Jakarta disidangkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," jelas Kurnia.
Kedua, menurut tim advokasi, hakim benar-benar telah menutup ruang bagi korban korupsi untuk memperoleh hak yang telah dilanggar oleh pelaku kejahatan.
Sebab, penetapan keliru ini besar kemungkinan akan dijadikan dasar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di seluruh Indonesia ketika menghadapi penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.
"Penting untuk ditegaskan, penetapan ini tidak hanya merugikan korban korupsi bansos, melainkan juga mempertaruhkan masa depan pemberantasan korupsi yang seolah hanya memikirkan kepentingan negara," ujar Kurnia.
Baca juga: Mensos Jelaskan Soal Adanya Warga Yang Belum Terima Bansos
Atas dasar tersebut, bagi tim advokasi korban korupsi bansos, penetapan yang melanggar hukum dan HAM tersebut harus dilawan melalui mekanisme yang tersedia yaitu kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
"Tim Advokasi dan korban korupsi bansos sangat berharap Mahkamah Agung mengoreksi kesalahan penerapan hukum oleh majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta," harapnya.
Selain itu, disebutkan Kurnia, MA juga mesti menjalankan amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman untuk tidak menolak memeriksa perkara hanya karena tidak ada atau belum jelas hukumnya serta dapat “membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan” serta “menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Sebagaimana diketahui, pertengahan Juni lalu 18 orang warga Jabodetabek yang menjadi korban korupsi bansos mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.
Alas hukum yang digunakan secara terang benderang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kesepakatan internasional, yakni Pasal 98 KUHAP dan Pasal 35 Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC).
Tak lama berselang, majelis hakim pun memberikan akses bagi tim advokasi untuk melengkapi dokumen.
Namun, pasca itu, permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian malah ditolak dengan alasan yang sangat janggal.
Hakim berpandangan gugatan lebih tepat diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan menggunakan argumentasi domisili Juliari.