Atas dasar hal tersebut, menurut Syaefullah, penetapan tersangka terhadap Angin dilakukan sebelum KPK mendapatkan bukti permulaan yang cukup.
Menurut Syaefullah, justru bukti didapatkan KPK saat Angin sudah dijerat sebagai tersangka.
"Oleh karenanya penetapan tersangka tersebut tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang secara tegas mengatur bahwa penetapan tersangka hanya boleh dilakukan berdasarkan alat bukti yang diperoleh dalam tahap penyidikan," katanya.
Di sisi lain, menurut Syaefullah, Angin bukanlah penyelenggara negara yang dapat dijerat oleh KPK.
Makna penyelenggara negara sesuai Pasal 2 huruf g UU Nomor 28 Tahun 1999 dijelaskan bahwa penyelenggara negara meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi negara; pejabat negara pada lembaga tinggi negara; menteri; gubernur; hakim; pejabat negara lainnya seperti duta besar, wakil gubernur, bupati; wali kota dan wakilnya.
Kemudian pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis seperti komisaris, direksi, dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan perguruan tinggi; pejabat eselon I dan pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer, jaksa, penyidik, panitera pengadilan, dan pimpinan proyek atau bendaharawan proyek.
Menurutnya, dalam Struktur organisasi Ditjen Pajak Kemenkeu, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, yakni jabatan Angin tidak mempunyai fungsi penegakan hukum.
"Bahwa jelas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan bukan eselon I dan bukan penyidik," katanya.