TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar sidang putusan praperadilan yang diajukan mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji (APA), Rabu (28/7/2021).
Angin merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait dengan pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017 pada Ditjen Pajak Kemenkeu.
Kuasa hukum Angin, Syaefullah Hamid, menilai penetapan tersangka terhadap kliennya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak sesuai dengan KUHAP.
Menurut Syaefullah, proses penyelidikan hingga penyidikan kasus Angin bukan ranah KPK.
"Penetapan tersangka oleh KPK dilaksanakan penuh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan KUHAP, pelaksanaan penyelidikan maupun penyidikannnya juga ternyata bukan ranah KPK. Maka Angin Prayitno Aji sebagai tersangka menggunakan salah satu haknya mengajukan praperadilan," kata Syaefullah dalam keterangannya, Selasa (27/7/2021).
Baca juga: Kasus Suap Pajak Angin Prayitno Aji, KPK Telah Ajukan 115 Barang Bukti
Pihak Angin sudah mengajukan praperadilan melawan KPK lantaran tak terima kliennya dijerat sebagai tersangka.
Angin mendaftarkan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Juni 2021.
Menurut Syaefullah, sidang sudah berjalan dalam beberapa tahapan.
Pada sidang keempat praperadilan, menurut Syaefullah, PN Jaksel menghadirkan pihak KPK.
Syaefullah mengklaim, dari hasil persidangan tersebut terlihat bahwa KPK dalam melaksanakan penyelidikan hingga penyidikan tak sesuai KUHAP.
"Terlihat bahwa dari hasil sidang-sidang tersebut termohon (KPK) dalam melaksanakan prosedur penyelidikan maupun penyidikannya tidak sesuai dengan KUHAP, sehingga penetapan tersangkanya tidak sah secara hukum," kata dia.
Menurutnya, dalam sidang terbukti bahwa KPK tidak memiliki alat bukti yang cukup dalam menetapkan Angin sebagai tersangka.
Karena surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap Angin diterbitkan KPK pada 4 Februari 2021.
"Sprindik terbit tanggal 4 Februari 2021, SPDP sekaligus penetapan tersangka tanggal 5 Februari 2021, sementara diakui oleh termohon (KPK) bahwa pemeriksaan saksi dalam penyidikan baru dimulai 22 April 2021 dan penyitaan baru dimulai 31 Maret 2021, sementara penggeledahan tanggal 10 Februari 2021, jadi semuanya dilakukan setelah penetapan tersangka," kata dia.
Atas dasar hal tersebut, menurut Syaefullah, penetapan tersangka terhadap Angin dilakukan sebelum KPK mendapatkan bukti permulaan yang cukup.
Menurut Syaefullah, justru bukti didapatkan KPK saat Angin sudah dijerat sebagai tersangka.
"Oleh karenanya penetapan tersangka tersebut tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang secara tegas mengatur bahwa penetapan tersangka hanya boleh dilakukan berdasarkan alat bukti yang diperoleh dalam tahap penyidikan," katanya.
Di sisi lain, menurut Syaefullah, Angin bukanlah penyelenggara negara yang dapat dijerat oleh KPK.
Makna penyelenggara negara sesuai Pasal 2 huruf g UU Nomor 28 Tahun 1999 dijelaskan bahwa penyelenggara negara meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi negara; pejabat negara pada lembaga tinggi negara; menteri; gubernur; hakim; pejabat negara lainnya seperti duta besar, wakil gubernur, bupati; wali kota dan wakilnya.
Kemudian pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis seperti komisaris, direksi, dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan perguruan tinggi; pejabat eselon I dan pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer, jaksa, penyidik, panitera pengadilan, dan pimpinan proyek atau bendaharawan proyek.
Menurutnya, dalam Struktur organisasi Ditjen Pajak Kemenkeu, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, yakni jabatan Angin tidak mempunyai fungsi penegakan hukum.
"Bahwa jelas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan bukan eselon I dan bukan penyidik," katanya.