Bahkan, lanjutnya, jaminan tersebut juga dituangkan dalam berbagai kesepakatan internasional, di antaranya Pasal 19 Deklarasi Universal HAM, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN.
"Terlepas dari rangkaian pengabaian regulasi terkait hak menyatakan pendapat, langkah Moeldoko ini pun berpotensi besar menurunkan nilai demokrasi di Indonesia," kata Erasmus yang juga bagian dari koalisi masyarakat sipil.
Awal Februari lalu, ia mengungkapkan, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3.
Baca juga: Respons ICW Sikapi Somasi Moeldoko Terkait Tudingan Soal Bisnis Ivermectin
Kata Erasmus, itu merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, Indonesia mendapatkan rapor merah karena adanya penurunan skor yang cukup signifikan.
"Maka dari itu, praktik pembatasan hak berpendapat, terlebih kritik dari masyarakat perlu untuk dihentikan," kata dia.
Kedua, melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil.
Merujuk data SAFENet, terang Erasmus, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan, misalnya aktivis, jurnalis, hingga akademisi.
"Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik. Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia," ujarnya.
Selanjutnya, Erasmus menjelaskan dari dari aspek hukum. Mengacu pada pemberitaan media, terdapat konstruksi yang keliru dalam memaknai aspek pelanggaran hukum dari penelitian ICW tersebut.
Jika dimaknai sebagai delik pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik jo KUHP, maka penting untuk dijelaskan lebih lanjut.
Baca juga: Moeldoko Somasi Peneliti ICW Egi Primayogha Terkait Tudingan Soal Bisnis Ivermectin
Ia menjelaskan, KUHP pada dasarnya memuat tentang alasan pembenar yang relevan ketika dikaitkan dengan penelitian ICW, yakni Pasal 310 ayat (3) KUHP: tidak merupakan pencemaran, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum.
"Sebab, ICW memaparkan temuan dalam konteks kepentingan pemerintah untuk mencegah adanya praktik rente dan conflict of interest (CoI) di tengah situasi kritis akibat pandemi Covid-19, hal yang jelas berhubungan dengan kepentingan publik," kata Erasmus.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menambahkan, permasalahan lain juga tampak ketika yang digunakan adalah UU ITE.
Hal ini dikarenakan adanya Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik.