Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon Hakim Agung Kamar Pidana yang saat ini menjabat sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Bandung, Subiharta, mengaku sempat mengungsikan istrinya ke hotel saat menangani kasus terkait santet di Pengadilan Negeri Pamekasan.
Subiharta mengungkapkan cerita di balik kasus yang terjadi antara tahun 2002 - 2003 tersebut karena ditanya oleh panelis terkait pengalamannya yang berkesan selama menjadi hakim di 11 tempat hingga saat ini.
Perkara tersebut, kata dia, sejak awal sudah menimbulkan konflik horisontal.
Hal itu karena para terdakwa, kata dia, tidak ditahan di kepolisian maupun kejaksaan.
Sedangkan hakim yang menjadi Plh ketika itu sempat mengembalikan berkas.
Baca juga: Calon Hakim Agung Suharto Ditanya Soal Pidana Mati Terhadap Anak
Akhirnya setelah dilimpahkan lagi, kata dia, ia ditetapkan menjadi anggota majelis hakimnya.
Pada waktu itu, lanjut dia, ada pro dan kontra terkait terdakwa ditahan atau tidak.
Selain itu, ada tekanan terhadap pengadilan baik dari korban, masyarakat, maupun dari Kepolisian dan Kejaksaan.
Saat itu, kata dia, majelis hakim yang beranggotakannya dalam posisi meminta agar para terdakwa ditahan.
Ketika itu, kata dia, ia betul-betul tidak mau ditekan.
Ia pun menyampaikan, sesuai dengan konstitusi bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan mandiri tidak bisa dicampuri oleh siapapun juga.
Selain itu, saat itu juga ada unjuk rasa dari masyarakat.
Meski demonstrasi dari masyarakat bubar dan sidang bisa dilanjutkan, namun kata dia, aparat penegak hukum tetap tidak berani menahan.
Hal itu karena, kata dia, majelis sudah berkonsultasi dengan hakim pengawas di Pengadilan Tinggi Surabaya.
Namun hakim tersebut memperingatkan akan keselamatan nyawa mereka.
Hal itu disampaikannya dalam Wawancara Terbuka Calon Hakim Agung Tahun 2021 Hari Ke-2 yang disiarkan di kanal Youtube Komisi Yudisial pada Rabu (4/8/2021).
"'Kau nggak usah jadi pahlawan, kalau kau mati, keluargamu mati, kau dapat sertifikat'. Di situlah bahwa saya, bertiga akhirnya tetap tidak melakukan penahanan," kata Subiharta mengulang pernyataan yang didengarnya dari hakim pengawas tersebut.
Subiharta mengatakan hal tersebut pun kemudian ia sampaikan ke Dirjen Badilum, Kepala Pengadilan Tinggi, serta hakim pengawas.
"Selanjutnya pada saat kita putus. Anak dan istri saya sudah saya inapkan di hotel. Dia tidak tahu masalah apa. Selanjutnya, istri teman hakim dua sudah dibawa ke Jawa. Akhirnya kita putus. Tidak kita tahan. Lalu banding. Saya tidak tahu lagi perkara itu," kata Subiharta.
Panelis pun kembali bertanya terkait perasaannya ketika itu, di mana ia di satu sisi tidak bisa memenuhi hukum acara, namun di satu sisi harus menegakkan independensi peradilan.
Ia pun mengungkapkan di situlah muncul pergulatan bagi seorang hakim.
"Cuma, kalau kita kembali kepada suatu asas bahwa yang salah harus dihukum yang tidak salah harus dilepaskan, di dalam kasus itu tetap kita melakukan suatu penegakan hukum, karena dia salah kita hukum, hanya saja kita tidak menjatuhkan pidana untuk berada dalam tahanan atau dia harus ditahan" kata dia.
Menurutnya, hal saat itu ia dan majelis ketika itu telah menimbang banyak aspek untuk memutuskannya.
"Karena kita juga bukannya takut tapi kita juga perlu menjaga marwah dari pengadilan. Yang penting tetap yang salah harus dihukum yang tidak salah harus dibebaskan," kats Subiharta.