News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik Emir Moeis Jadi Komisaris

Polemik Emir Moeis Jadi Komisaris BUMN, Dikecam Pukat UGM, Dibela Nusron Wahid

Penulis: Daryono
Editor: Arif Fajar Nasucha
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa kasus dugaan suap pembangunan PLTU Tarahan Lampung, Emir Moeis ketika menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (28/11/2013). Emir diduga menerima 300 ribu dollar AS dari PT Alstom Indonesia yang merupakan perusahan pemenang tender proyek PLTU Tarahan Lampung. (WARTAKOTA/Henry Lopulalan)

TRIBUNNEWS.COM - Pengangkatan mantan terpidana korupsi, Izedrik Emir Moeis menjadi komisaris BUMN PT Pupuk Iskandar Muda menuai polemik.

Sejumlah pihak menilai pengangkatan Emis Moes tidak memncerminkan keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi.

Di sisi lain, sebagian kalangan menganggap diangkatnya Emir Moeis sebagai komisaris BUMN tidak menyalahi aturan.

Untuk dketahui, pengangkatan Emir Moeis sebagai Komisrais PT Pupuk Iskandar Muda diketahui dari informasi di website Pupuk Iskandar Muda, pim.co.id.

Dalam laman tersebut, Emir Moeis menduduki posisi Komisaris sejak 18 Februari 2021.

Baca juga: SOSOK Emir Moeis Eks Koruptor yang Jadi Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda, Pernah Divonis 3 Tahun

SVP of Corporate Communication PT Pupuk Indonesia, Wijaya Laksana yang dikonfirmasi media membenarkan hal tersebut dan mengatakan penunjukan Emir Moeis sudah sesuai aturan. 

Berikut polemik penunjukan Emir Moes sebagai komisaris:

1. Pukat UGM Beri Kecaman

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM mengecam pengangkatan Emir Moeis sebagai komisaris BUMN. 

"Tentu Pukat mengecam keras dan tidak habis pikir," kata Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Totok Dwi Diantoro, kepada Tribunnews.com, Kamis (5/8/2021).

Totok menerangkan, penunjukkan Emir memperlihatkan kepada masyarakat tentang bagaimana absurdnya pemerintah dalam sikap terhadap pemberantasan korupsi.

"Setelah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sendiri sempat mewacanakan eks napi koruptor menjadi duta anti-korupsi, sekarang eks napi koruptor ditunjuk menjadi komisaris BUMN. Sulit dicerna akal sehat," tutur Totok.

2. PSI Sebut Mantan Koruptor sudah Cacat Integritas

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mempertanyakan pengangkatan eks narapidana korupsi Izedrik Emir Moeis sebagai Komisaris BUMN PT Pupuk Iskandar Muda.

"Predikat mantan koruptor adalah bukti otentik adanya cacat integritas, kenapa justru diangkat menjadi Komisaris BUMN? Menurut kami, melihat rekam jejaknya, Emir Moeis tidak memenuhi syarat materiil menjadi calon Komisaris yang akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap BUMN,” kata Juru Bicara DPP PSI Ariyo Bimmo, dalam keterangan tertulis, Kamis (5/8/2021).

Baca juga: Emir Moeis Jadi Komisaris di Perusahaan BUMN, ICW: Masa Gak Ada Calon Lain?

PSI melihat pencalonan mantan koruptor sebagai komisaris BUMN merupakan salah satu praktik impunitas terhadap kejahatan korupsi dan pelakunya.

Efek jera yang selama ini didengungkan tidak akan pernah efektif selama mantan koruptor masih bisa menduduki jabatan publik.

“Apakah di negeri ini tidak ada orang baik dan berkualitas yang layak menjadi petinggi BUMN? Kenapa harus mantan koruptor? Saya kira, perlu ada klarifikasi, transparansi dan bila mungkin koreksi untuk masalah ini,” lanjut Bimmo.

Lebih jauh, Bimmo menambahkan dari sisi manajemen berbasis risiko, terdapat kerawanan tinggi jika mantan koruptor diberi jabatan penting dalam BUMN.

“Tidak ada jaminan seorang mantan koruptor tidak akan melakukan tindakan residif di kemudian hari. Memberi posisi strategis kepada mantan koruptor di BUMN sama saja membuka peluang terjadinya korupsi yang lebih besar lagi. Ini sangat merugikan reputasi BUMN kita,” tegas Bimmo.

3. Nusron Wahid Sebut Pengangkatan Emir Moes Tak Salahi Aturan

Nusron Wahid (ist)

Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Nusron Wahid menilai tidak ada yang salah dan dilanggar oleh Menteri BUMN Erick Thohir dalam keputusannya mengangkat Emir Moeis sebagai Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda, anak perusahaan PT Pupuk Indonesia.

"Keputusan itu tidak melanggar UU No 19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Permen BUMN No 4 Tahun 2020, tentang Pengangkatan Direksi dan Komisaris Anak Perusahaan," kata Nusron, Kamis (5/8/2021).

Menurut Nusron, posisi Emir yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi tidak menghalangi haknya untuk menjadi komisaris di salah satu perusahaan plat merah.

Sebab sebagai warga negara, Emir sudah menjalani hukuman itu secara serius untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Saya kira apa yang dilakukan oleh Meneg BUMN sudah sesuai aturan. Pada sisi lain Emir Moeis pun sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya pada masa lalu, dengan hukuman di penjara. Saya kira tidak ada orang jahat seumur hidup," ungkapnya.

Dari sisi kapasitas dan pengalaman, kata Nusron, sosok Emir mungkin masih dibutuhkan oleh Meneg BUMN untuk membantu pengembangan BUMN.

Oleh karena itu, lebih baik berikan kesempatan atas kepercayaan tersebut dan bersama-sama melihat bagaimana kinerjanya ke depan.

4. MAKI Desak Pencopotan Emir Moeis

Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengaku kecewa lantaran Emir diangkat menjadi komisaris BUMN. 

Sebab, Emir pernah terjerat kasus suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung.

"Saya terus terang saja kecewa ketika mantan [napi] tindak pidana korupsi menjadi komisaris di sebuah BUMN, dan ini mestinya tidak terjadi," kata Boyamin kepada Tribunnews.com, Kamis (5/8/2021).

Baca juga: MAKI Desak Erick Thohir Copot Emir Moeis dari Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda

Maka dari itu, MAKI meminta Erick Thohir segera mengganti Emir Moeis dengan orang-orang yang berintegritas dan tidak pernah terlibat kasus korupsi.

"Masih banyak orang yang baik, bersih dan integritasnya bisa dipercaya untuk menjadi komisaris. Karena apapun ini akan berdampak buruk ketika mantan napi korupsi jadi komisaris, nanti tidak bisa menjadi teladan," kata Boyamin.

Menurutnya, meskipun mantan narapidana korupsi bisa berubah, namun mengangkat seorang koruptor sebagai komisaris BUMN tidak memenuhi unsur tata kelola perusahaan yang baik. 

Dengan demikian, harapan BUMN bersih korupsi akan sulit. 

“Harapan untuk menjadikan BUMN bersih dari korupsi akan susah ketika komisarisnya orangnya mantan napi korupsi," katanya.

5. Sekilas tentang Emir Moes

Izedrik Emir Moeis merupakan napi koruptor yang menerima suap terkait proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung saat menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR.

Dikutip dari situs resmi PT PIM, Emir Moeis lahir di Jakarta, 27 Agustus 1950. Artinya saat ini, ia berusia 71 tahun.

Emir Moeis adalah anak dari Inche Abdoel Moeis yang pernah menjabat sebagai Kepala Daerah Provinsi Kalimantan Timur pada 3 Maret-27 Mei 1959.

Emir Moeis menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1975.

Pada 1984, ia menuntaskan studi pasca sarjana MIPA Universitas Indonesia (UI).

Emir Moeis memulai karier pada 1975 sebagai dosen di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) dan Manager Bisnis di PT Tirta Menggala.

Selanjutnya, dalam kurun waktu 1980 - 2000, Emir Moeis menjabat sebagai Direktur Utama di beberapa perusahaan swasta.

Emir Moeis pun terjun dalam dunia politik dan bergabung dengan PDIP.

Ia pernah menjabat sebagai satu anggota DPR RI pada 2000-2013 dari Fraksi PDIP.

Dikutip dari Kompas.com, Emir Moeis pernah divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU di Tarahan, Lampung.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai Emir selaku anggota Komisi VIII DPR saat itu terbukti menerima 357.000 dolar AS dari PT Alstom Power Incorporated Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate Jepang melalui Presiden Pacific Resources Inc. Pirooz Muhammad Sarafi.

"Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan alternatif kedua," ujar Ketua Majelis Hakim Matheus Samiadji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (14/4/2014).

Emir dianggap melanggar Pasal 11 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001.

Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 4 tahun 6 bulan penjara dan membayar denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan penjara.

Dalam pertimbangan yang memberatkan, Emir dinilai tidak mendukung pemberantasan korupsi dan tidak mengakui perbuatan.

Sementara hal-hal yang meringankan, yaitu Emir belum pernah dihukum, berlaku sopan selama persidangan, dan memiliki tanggungan keluarga.

(Tribunnews.com/Daryono/Sri Juliati/Vincentius Jyestha/Dennis Destryawan)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini