Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengingatkan kembali bagaimana konsep pemikiran presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang masih relevan hingga saat ini.
Pada peringatan Haul Gus Dur ke 12 H, Mahfud juga menyinggung Afghanistan yang kini dikuasai Taliban yang mendeklarasikan diri sebagai negara Emirat Islam Afghanistan.
Baca juga: Pengamat Sebut Kelompok Teroris JI Indonesia Bersuka Cita Atas Kemenangan Taliban di Afghanistan
Mahfud mengatakan terpilihnya Gus Dur sebagai presiden pada tahun 1999 itu menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia menolak ekstrimisme, sekularisme dan juga agamaisme.
“Kerasa hidupnya Gus Dur malam ini menemani kita, pemikiran, langkah dan bangsa Indonesia. Setia pada apa-apa. Kalau bangsa ini mau pecah, lalu orang ingat konsepnya Gus Dur tentang Persatuan dan toleransi. Ketika saat ini muncul negara Emirat Islam of Afghanistan, kita ingat konsepnya Gus Dur tentang bernegara dan toleransi serta kosmopolitanisme, inklusifisme dan sebagainya,” kata Mahfud di live peringatan Haul Gus Dur ke 12 hijriyah, Minggu (22/8/2021).
Baca juga: Video Tentara AS Selamatkan Bayi dari Atas Pagar Kawat Berduri saat Bandara Kabul Afghanistan Kacau
Menko Polhukan mengatakan pada saat Gus Dur dipilih sebagai presiden, pemilihan tersebut dianggap pemilihan paling demokratis kedua, sesudah pemilihan di tahun 1995.
Ia berujar pada tahun 1999, dunia menyaksikan bahwa Indonesia bisa melakukan pemilihan secara demokratis.
Baca juga: India Repatriasi 87 Warga Negaranya dari Afghanistan
“Kata Gus Dur, Indonesia bukan negara Islam tapi hidupnya harus Islami. Beda negara Islam dan sifat Islam. Islam itu beradab, jujur, tertib dalam bernegara, bersaudara dengan yang lainnya. Itu Islami,” lanjutnya.
Sebelum Gus Dur pada akhirnya terpilih sebagai presiden, pada waktu itu aliran politik di Indonesia terpacah menjadi 2 kubu, antara pendukung Megawati Soekarno Putri yang beraliran merah dan B.J Habibie yang beraliran hijau.
Kedua kubu tersebut saling mengancam akan me’merah’kan Jakarta atau meng’hijau’kan Jakarta dengan masing-masing pendukungnya karena adanya polemik dalam pemilihan yang terjadi saat itu.
“Pada waktu itu ada kelompok PDIP yang sangat keras, yang harus jadi presiden itu harus mba Mega, kenapa? Karena dia yang menang pemilu, 34 persen waktu itu. Sedangkan yang lain dibawah 25 persen,” ujarnya.
Mahfud bercerita diantara polemik dua kubu pada waktu itu, BJ Habibie pertanggung jawabannya ditolak oleh MPR berdasarkan voting. Habibie merasa tidak layak menjadi presiden dan mengundurkan diri.
Muncullah berbagai nama yang diajukan sebagai presiden, seperti Amin Rais, Akbar Tanjung, Wiranto.
Namun sosok Gus Dur yang akhirnya terpilih sebagai presiden, karena dianggap pilihan yang paling aman untuk memimpin Indonesia.
“Gus Dur akhirnya yang dipilih. Disini terlihat bahwa orang itu tidak terlalu suka dengan ekstrim merah atau hijau,” katanya.
Gus Dur diceritakan Mahfud sosok spiritual yang selalu muncul dengan tenang, tidak menggebu-gebu atau melawan.
Bahkan ketika Gus Dur terpilih menjabat sebagai presiden, sosok yang ia tunjuk sebagai wakilnya adalah Megawati.
Hal ini yang menurutnya kemudian membuat negara Indonesia selamat dari perpecahan.
“Gus Dur muncul ketika negara ini kritis. Kalau kita ingat tahun 1998, panasnya bukan main. Apalagi rakyat saat itu ada di dalam krisis moneter,” kata Mahfud.
“Gus Dur berhasil menyatukan lintas kekuatan. Semua partai masuk dalam koalisi pemerintahannya. Pusat daerah di tata dengan sedemikian rupa,” lanjutnya.