TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mengatakan kepada Presiden Joko Widodo untuk berani memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur.
Selain alasan strategis, pemindahan IKN perlu dilakukan untuk memisahkan pusat pemerintahan dari pusat ekonomi.
“Kita harus ada keberanian untuk memindahkan ibu kota, memisahkan pusat pemerintahan dari pusat keuangan, perdagangan, industri,” ujar Prabowo Subianto saat menemani Presiden Jokowi meninjau akses sodetan menuju IKN, Selasa (24/8/2021).
Apalagi, lanjut Prabowo, pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur sudah disiapkan dengan matang melalui berbagai studi dan pertimbangan.
Atas dasar itu, Prabowo menyatakan pemindahan ibu kota negara harus diteruskan.
“Saya kira ini saya sangat mendukung, saya menyarankan kepada Presiden bahwa kita harus teruskan Pak, begitu saran saya, dan Menteri PU juga sudah meyakinkan bahwa ini memang persiapannya sudah sangat matang,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.TV.
Baca juga: Jokowi Bertolak ke Kaltim, Tinjau Vaksinasi Pelajar dan Resmikan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda
Tetap Dilanjutkan
Di tempat yang sama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) tetap diteruskan.
Pernyataan itu disampaikan Presiden Jokowi seusai saat meninjau sodetan akses jalan menuju IKN di Jalan Tol Balikpapan-Samarinda KM 14 yang dilewati Presiden dalam perjalanan dari Kota Samarinda ke Kota Balikpapan.
“Artinya apa? Agenda ibu kota baru ini tetap dalam rencana,” kata Presiden Jokowi, Selasa (24/8/2021).
Presiden Jokowi mengatakan hal yang penting untuk dilakukan sebelum membangun IKN adalah membangun infrastruktur untuk mengangkut logistik.
“Kita melihat ini melihat lebih detail lagi, karena untuk membangun ibu kota baru yang paling penting adalah infrastruktur menuju ke sana dulu untuk nanti membawa logistik,” ujar Presiden.
“Tadi saya dengan Pak Menhan dengan Pak Menteri PUPR untuk melihat secara detail juga. Tadi kita diskusi mengenai kira-kira di mana pelabuhan, di mana airport. Kalau kita melihat ke lapangan seperti ini akan lebih mudah. Itu saja.”
Jakarta Bakal Tenggelam
Wacana pemindahan ibu kota kembali mengemuka setelah Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia saat ini diprediksi bakal tenggelam 10 tahun mendatang.
Adalah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyebut soal proyeksi kemungkinan Jakarta bakal tenggelam dalam 10 tahun mendatang.
Menurut Biden, itu disebabkan karena fenomena perubahan iklim.
Kondisi ini kemudian mendorong pemerintah Indonesia mulai mewujudkan rencana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan.
Hal ini diungkit Biden saat berpidato di pusat Kontra-Terorisme Nasional Amerika Serikat pada 27 Juli 2021 lalu.
“Apa yang terjadi di Indonesia jika perkiraan itu benar, bahwa dalam sepuluh tahun, mereka kemungkinan harus memindahkan ibu kota karena tenggelam?" ujar Joe Biden.
Biden mengingatkan bahwa perubahan iklim juga menjadi ancaman terbesar bagi Departemen Pertahanan Amerika Serikat saat ini.
Biden mengatakan jika permukaan air laut 2,5 kaki atau 7,6 cm saja akan ada jutaan orang yang harus pindah dari lokasi yang ditinggali.
"Jika, pada kenyataannya, permukaan laut naik dua setengah kaki lagi, Anda akan memiliki jutaan orang yang bermigrasi, memperebutkan tanah yang subur ...," ujarnya.
Riset Terbaru Jakarta akan Tenggelam
Pada 13 Mei 2021 lalu, sebuah laporan terbaru yang dipublikasikan oleh perusahaan konsultan risiko Verisk Maplecroft memuat 100 kota di dunia yang menghadapi risiko lingkungan terbesar.
Baca juga: Mantan Menteri: Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kaltim Bukan Karena Gerah dengan Jakarta
Laporan perusahaan global asal Inggris itu menobatkan Jakarta sebagai kota paling rentan di dunia terhadap risiko lingkungan.
Melansir Time, dari seluruh 100 kota yang menghadapi risiko lingkungan terbesar itu, 99 kota di antaranya terletak di Asia.
Sementara, 14 kota dari 20 kota paling aman terhadap risiko lingkungan terletak di Eropa.
Dikutip dari Kompas.TV, para peneliti dalam laporan itu menilai 576 kota terbesar di dunia berdasarkan kualitas udara dan air, tekanan panas, kelangkaan air, kerentanan terhadap perubahan iklim dan eksposur lanskap, populasi, ekonomi serta infrastruktur terhadap bahaya alam.
Bahaya alam itu seperti gempa bumi, tsunami dan tanah longsor.
Laporan itu menyebut, sekitar 1,5 miliar orang tinggal di kota yang menghadapi “risiko tinggi atau ekstrim”.
Asia tak cuma merupakan kawasan dengan penduduk paling padat.
Tapi juga semakin menambah tekanan pada sumber air dan menambah polusi dari pembakaran batu bara serta bahan bakar secara meluas.
Namun demikian, kawasan ini juga memiliki sejumlah besar “bahaya alam” yang tertanam pada geografisnya.
Contohnya, sejumlah kota di Jepang berisiko mengalami gempa bumi dan banyak kota di Delta Mekong di Vietnam yang sangat rentan banjir.
Laporan itu menobatkan Jakarta, ibu kota Indonesia yang dihuni oleh 10 juta penduduk, sebagai kota paling rentan sedunia terhadap risiko lingkungan.
Naiknya air laut dan penurunan tanah – karena menipisnya akuifer (=lapisan penampung air tanah) alami di bawah permukaan kota lantaran orang-orang memompa air keluar dari tanah untuk minum dan mencuci – menjadikan Jakarta sebagai kota yang paling cepat tenggelam.
Hal ini ditandai dengan banjir yang kerap melanda ibu kota dan sebagian kota Jakarta diperkirakan akan tenggelam pada tahun 2050.
Kota metropolitan ini juga mengalami polusi udara akibat pembangkit listrik tenaga batu bara.
Situasi lingkungan yang dihadapi Jakarta begitu buruknya hingga pemerintah pun berencana memindahkan ibu kota.
Sementara itu, India berada di urutan terburuk sebagai negara, dan 13 dari 20 kota paling berisiko lingkungan ada di negara ini.
India juga menduduki peringkat 43 dari daftar 100 negara yang dinilai.
Sejumlah kota di India yang menghadapi ancaman terbesar termasuk di antaranya New Delhi, dan Chennand Chandigarh.
Kualitas udara India yang buruk juga menyumbang faktor terbesar bagi tingkat risiko lingkungan yang dimiliki India.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Lancet tahun lalu menemukan bahwa polusi udara berkontribusi terhadap 1,7 juta kematian dini di India pada tahun 2019.
Para ilmuwan mengatakan, polusi udara meningkatkan jumlah kematian dalam wabah Covid-19 yang dahsyat di India.
Sedangkan 37 dari 100 kota yang menghadapi risiko lingkungan terbesar terletak di China dan polusi udara disebut sebagai faktor penyebab terbesarnya.
Sumber: Kompas.TV/Tribunnews.com