Kecurangan-kecurangan tersebut, lanjutnya, kemudian ditetapkan harus yang bersisfat terstruktur, sistematis, dan masif.
Kata terstruktur, sistematis, dan masif itu, kata dia, pertama kali menjadi bagian dari kata hukum kita ketika MK memutuskan kasus Pilkada meskipun sebelumnya pernah ada namun tidak dipakai dalam pengadilan.
Sekarang, kata dia, frasa terstruktur, sistematis, masif bahkan disebut baik di peraturan KPU maupun Bawaslu.
"Istilah terstuktur, sistematis, dan masif adalah sebuah landmark decision. Buat itu. Itu kan melanggar UU, UU kan hanya menghitung hasil. Biar saja UU nya begitu, UU nya salah. Bertentangan tapi tidak diuji secara langsung, dia bertentangan dengan konstitusi tentang pemilu yang demokratis berdasar hukum," kata Mahfud.
Ia pun mencontohkan landmark decision lain yang pernah dibuat MK di antaranya istilah open legal policy dan pembuktian yang tidak umum misalnya dalam kasus rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
Terkait yang terakhir, lanjut dia, meskipun bukan bunyi pasal namun bunyi rekaman, kata Mahfud, pasal yang menyangkut status hukum pimpinan KPK berpotensi dijadikan alat untuk mengkriminalisasi orang dan melemahkan KPK.
"Oleh sebab tiu kita putuskan pasal ini batal. Sehingga Bibit Samad dan Chandra langsung dikeluarkan dan aktif lagi di KPK pada waktu itu. Itu namanya landmark decision," kata Mahfud.
Untuk itu, kata dia, hakim harus kreatif dalam menegakkan hukum.
"Tidak boleh hanya dibelenggu oleh UU karena jual beli bisa terjadi dalam penggunaan pasal, yang kadangkala tinggal menggunakan pasal yang mana untuk melakukan ini dan itu," kata Mahfud.