Dampaknya tidak hanya administratf, tetapi ada akibat pidana karena kerugian negara yang harus membiayai ulang proses rekruitmen calon anggota BPK.
"Seluruh Anggota DPR yang terlibat dalam pelanggaran hukum bisa diproses secara hukum yang bisa berakibat pada pemecatan sebagai anggota DPR," pesannya.
Senada dengan itu, pakar hukum tata negara Denny Indrayana berpandangan bahwa seleksi Pimpinan BPK ini problematik dan seringkali menjadi lahan berbagi kursi di antara parlemen dan parpol.
“Akar masalahnya ada di moralitas berpolitik kita. Dan itu diperburuk dengan aturan konstitusi kita yang membuka ruang praktik yang tidak demokratis dan bahkan kolutif tersebut,” kata Denny.
Denny menyarankan pemilihan Pimpinan BPK agar tetap mengacu pada undang-undang. Apalagi, Mahkamah Agung telah menerbitkan pendapat hukum sebagaimana diminta Komisi XI, yang intinya agar persyaratan calon Anggota BPK merujuk pada ketentuan di dalam Pasal 13 huruf j UU BPK.
“Syarat di dalam UU tentu wajib dipenuhi,” kata Denny menegaskan.
Sementara itu, pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Dr. Dian Puji Simatupang mengatakan, DPR harus patuh dalam pelaksanaan UU BPK.
"Terserah DPR, MA kan sudah memberi pertimbangan. Tetapi sebaiknya DPR mengikuti aturan sesuai undang-undang yang ada," katanya.
Dian menjelaskan, pejabat pengelola keuangan negara itu adalah mereka yang berkedudukan dalam posisi pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, PPK, bendahara, dan pengawas internal. Bila calon anggota BPK tak memenuhi kualifikasi seharusnya DPR menolaknya.
Patut diketahui, awal September ini Komisi XI DPR akan menggelar fit and proper test dan pemilihan calon Anggota BPK.
Tetapi hingga berita ini diturunkan, belum ada kepastian terkait jadwal uji kepatutan tersebut.
Demikian pula belum ada keputusan mengenai status persyaratan Harry Z Soeratin dan Nyoman Adhi Suryadnyana, apakah dianulir atau diteruskan.