TRIBUNNEWS.COM - Majelis Etik Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menyatakan Wakil Ketua KPK, Lili PIntauli Siregar telah melanggar kode etik.
Pelanggaran kode etik tersebut diketahui terkait penyalahgunaan pengaruh sebagai pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi.
Lili Pintauli juga disebut berhubungan langsung dengan pihak yang berperkara, Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial.
Atas pelanggaran tersebut, Wakil Ketua KPK ini kemudian mendapat sanksi berat berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Baca juga: ICW Minta KPK Dalami Potensi Suap di Balik Komunikasi Lili Pintauli dengan Syahrial
Meski telah mendapat sanksi berat, beberapa pihak masih menilai sanksi tersebut terlalu ringan.
Salah satu di antaranya yakni Indonesia Corruption Watch (ICW).
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, Lili Pintauli sudah tidak layak lagi untuk menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
Kurnia juga mendesak agar Lili mau mengundurkan diri dari KPK, pasalnya tindakan Lili sudah terbukti melanggar hukum.
Baca juga: Terbukti Langgar Etik Temui Pihak Beperkara di KPK, Lili Pintauli Disebut Berperilaku Koruptif
"Tidak layak lagi menempati atau menduduki posisi tertinggi di instansi yang dia pimpin. Maka dari itu setiap pejabat publik tersebut harus mengundurkan diri. Karena sudah jelas sekali disampaikan dalam banyak peraturan perundang-undangan."
"Yang bersangkutan harus punya rasa malu ketika sudah terbukti secara sah dan meyakinkan oleh lembaga atau institusi negara melanggar hukum atas kebijakan atau tindakan yang dia lakukan," kata Kurnia dalam tayangan video di kanal YouTube Kompas TV, Rabu (1/9/2021).
Selain ICW, Pusat Kajian Anti Korupsi Univeristas Gadjah Mada Yogyakarta (PUKAT UGM) juga mendesak Lili untuk mundur dari jabatannya.
Menurut Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman juga menilai pimpinan KPK yang telah dijatuhi sanksi berat berarti sudah tidak layak menjabat di KPK.
Baca juga: Sanksi Potong Gaji Lili Pantauli Dinilai Terlalu Ringan, MAKI: Putusan Cemen, Aturan Dewas KPK Juga
Zaenur pun berharap proses pidana bisa menjadi solusi agar pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran berat tidak bisa lagi menduduki jabatannya.
"Pimpinan KPK yang telah dijatuhi sanksi berat sudah tidak layak lagi menjabat di KPK. Jika proses etik tidak dapat memberhentikan Wakil Ketua KPK yang melakukan pelanggaran berat ini."