News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Seleksi Kepegawaian di KPK

Tok! MK Tolak Gugatan Pegawai KPK, Putuskan TWK Sudah Sesuai Konstitusi

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa aksi yang tergabung dalam serikat buruh dan masyarakat sipil melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/6/2021). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes dari upaya pelemahan KPK mulai dari revisi UU KPK hingga pemecatan 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak gugatan terkait pasal alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang diajukan oleh Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia Yusuf Sahide.

MK menilai peralihan itu tidak bertentangan dengan UUD. Karena itu MK menyatakan gugatan untuk membatalkan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C tersebut tidak beralasan menurut hukum. Oleh karenanya, MK menolak seluruh gugatan pemohon.

"Mengadili: Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang putusan yang disiarkan kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Selasa (31/8/2021).

Gugatan terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN ini diajukan oleh Muh. Yusuf Sahide selaku Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia.

Dalam gugatannya, Yusuf mempersoalkan Pasal 68 B ayat (1) dan Pasal 69 C UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 tentang peralihan pegawai KPK.

Baca juga: Respons Novel Baswedan saat MK Nyatakan TWK Pegawai KPK Konstitusional

Pasal 69B UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 berbunyi:

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: MK Tolak Permohonan Uji Materi UU KPK Terkait Alih Status Pegawai

Sementara Pasal 69C berbunyi:

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Novel Baswedan: Raja OTT yang Tak Lulus TWK Turun Tangan di OTT Probolinggo

Muh. Yusuf Sahide meminta MK mengubah dua pasal itu menjadi:

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan.

Baca juga: Pasca Temuan Komnas HAM Terkait Polemik TWK, Eks Pimpinan KPK: Kepercayaan Publik akan Sangat Rendah

1. Bersedia menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), dan 2. Belum memasuki batas usia pensiun sesuai ketentuan perundang-undangan

Dengan kata lain, semua pegawai KPK beralih menjadi ASN tanpa kecuali dengan memenuhi ketentuan. Ketentuannya ialah bersedia menjadi ASN dan belum masuk usia pensiun.

Gugatan ini diajukan tak terlepas dari masalah Tes Wawasan Kebangsaan. Ada 75 pegawai yang tidak lulus.

Sebanyak 56 pegawai di antaranya akan dipecat dalam waktu dekat.

Pemohon menilai hasil TWK menjadi dasar penentuan BKN dan KPK mengangkat pegawai tidak mempunyai landasan hukum.

Tidak ada aturan dalam UU 19/2019 maupun PP 41/2020 yang mensyaratkan soal TWK. TWK hanya diatur dalam Perkom 1/2021.

Sementara KPK dan BKN dinilai keliru menafsirkan syarat peralihan status dengan menggunakan hasil TWK.

TWK dipandang menimbulkan ketidakpastian bagi pegawai KPK. Sebab, kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945 dinilai cukup dengan surat pernyataan bermaterai.

TWK dinilai dapat menjadi “pisau bermata dua” yang dapat dipergunakan secara subjektif untuk memberhentikan pegawai KPK. Hal itu terlihat saat pegawai yang tidak lulus TWK diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab (non-job).

TWK dinilai merupakan upaya nyata untuk menghilangkan hak bekerja seseorang tanpa proses yang adil dalam hubungan kerja.

Namun MK berpandangan lain. MK menilai permasalahan dalam peralihan karena kesempatan yang diberikan kepada pegawai KPK sama seperti WNI yang lain.

"Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019 bukan hanya berlaku bagi Pemohon in casu pegawai KPK yang tidak lolos TWK melainkan juga untuk seluruh pegawai KPK. Menurut Mahkamah, ketentuan a quo tidak mengandung ketentuan yang bersifat diskriminasi," kata Hakim MK.

"Adanya fakta bahwa ada beberapa pegawai KPK yang tidak lolos TWK bukanlah persoalan konstitusionalitas norma," sambungnya.

Baca juga: Diduga Bocor! Aplikasi eHAC Milik Pemerintah Dilaporkan Ekspos Lebih dari 1 Juta Data Pribadi

MK memberi sejumlah pertimbangan dalam putusan tersebut. Mahkamah menilai pasal 69B ayat 1 dan 69C tidak bertentangan menurut hukum.

MK menolak argumen-argumen pemohon soal TWK KPK tidak memenuhi hak atas pekerjaan dan hak atas kesempatan yang sama di pemerintahan.

Menurut MK, aturan hukum tetap berlaku dalam pemenuhan hak-hak itu.

"Mahkamah berpendapat bahwa pemenuhan hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan tidaklah meniadakan kewenangan negara untuk mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, terlebih jika kesempatan yang sama dalam pemerintahan tersebut menyangkut pengisian jabatan publik yang membutuhkan kepercayaan dari masyarakat," ucap MK.

Dalam putusan itu terdapat empat orang hakim konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda (concuring opinion).

Empat orang itu adalah Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.

Empat orang hakim konstitusi itu memberikan beberapa pertimbangan. Salah satunya, para pegawai KPK seharusnya diangkat menjadi ASN jika merujuk UUD 1945.

"Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada kepastian hukum, norma dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 seharusnya semangatnya secara sungguh-sungguh dimaknai sebagai pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, in casu hak konstitusional penyelidik, penyidik dan pegawai KPK untuk dialihkan statusnya sebagai pegawai ASN sesuai dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945," ucap Hakim Konstitusi Saldi Isra

Polemik peralihan pegawai KPK menjadi ASN muncul usai gelaran TWK yang dilaksanakan Badan Kepegawaian Negara (BKN) bersama sejumlah instansi lain.

Sebanyak 75 pegawai lembaga antirasuah dinyatakan tak memenuhi syarat, sementara 1.271 orang lainnya dianggap memenuhi syarat.

Ketua KPK Firli Bahuri lantas melantik 1.271 orang yang dianggap memenuhi syarat sebagai ASN pada 1 Juni lalu. Sedangkan 75 pegawai yang dinilai tak memenuhi syarat tak dilantik.

Keputusan terbaru, sebanyak 51 dari 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan itu dicap sudah 'merah' dan tak bisa bergabung lagi dengan KPK.

Sedangkan 24 lainnya masih bisa menjadi ASN asal mau mengikuti diklat bela negara.

Dari 24 pegawai yang masih bisa dibina, hanya 18 yang bersedia ikut diklat bela negara. Mereka pun segera diangkat menjadi ASN.

Sementara itu, 57 pegawai lainnya, termasuk Novel Baswedan masih nonaktif dan terancam meninggalkan KPK sebelum November 2021.

Menyikapi putusan MK itu, Novel Baswedan mengatakan bahwa meski TWK konstitusional, bukan berarti pelanggaran dibenarkan.

"Meskipun MK telah putuskan bahwa TWK konstitusional, bukan berarti jika ada pelanggaran dalam proses TWK kemudian dibenarkan kan ya? Ini dengan mengikuti logika putusan MK," kata Novel.

Novel menyebut, berdasarkan hasil pemeriksaan mendalam yang dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komnas HAM, TWK pegawai KPK ditemukan banyak perbuatan melanggar hukum dan HAM.

Menurutnya, pelanggaran hukum dan HAM itu bertujuan untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK.

"Dari hasil pemeriksaan mendalam yang dilakukan oleh ORI dan Komnas HAM, ditemukan bahwa banyak perbuatan melanggar hukum dan HAM yang dilakukan dengan maksud penyingkiran terhadap 75 pegawai KPK," ucapnya.

"Tentunya itu masalah yang berbeda dengan pemeriksaan di MK," tambahnya.

Di sisi lain KPK juga tidak mau besar kepala usai MK menyebut langkahnya dalam pelaksanaan TWK sudah benar.

"Masih ada permohonan uji materi di Mahkamah Agung (MA). Ya, kami juga menunggu putusan MA," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Alex mengatakan MA bisa memberikan putusan berbeda dengan MK.

Lembaga Antikorupsi tidak mau memberikan sikap terkait pelaksanaan TWK itu karena masih dalam gugatan di MA.

"Biar tuntas sekalian karena yang di MA menyangkut peraturan komisi yang menjadi dasar sah tidaknya TWK," ujar Alex.(tribun network/ham/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini