TRIBUNNEWS.COM - Keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) memberi hukuman kepada Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar menuai kritik dari berbagai pihak.
Para pengkritik menganggap, hukuman yang diberikan kepada Lili Pintauli Siregar terlalu ringan.
Padahal pelanggaran yang dilakukan merupakan pelanggaran kode etik pegawai KPK.
Sementara di antara kritikus menilai, Dewan Pengawas KPK perlu membawa kasus ke penegak hukum atas dasar pelanggaran pidana.
Lembaga dari partai politik, yakni PKS, juga ikut menyoroti kasus Lili Pintauli Siregar.
DPP PKS berpendapat, Lili Pintauli Siregar harusnya mendapat hukuman lebih berat dari sekedar pemotongan gaji.
Inilah berbagai kritikan yang dirangkum Tribunnews.com untuk menyoroti kasus pelanggaran kode etik Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar.
1. LBH Sebut Perilaku Koruptif
Baca juga: Dewas KPK Disarankan Limpahkan Hasil Pemeriksaan Etik Lili Pintauli ke Penegak Hukum
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana berpendapat, pelanggaran yang dilakukan Lili seharusnya dapat dijatuhi sanksi berat.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan KPK, kata Arif, Lili Pintauli Siregar dinilai telah melakukan perilaku koruptif.
Tindakan tersebut tercermin dari lemahnya penegakan hukum tindak pidana korupsi serta pengawasan terhadap pelaksanaannya.
"LBH Jakarta menilai bahwa adanya perilaku koruptif dalam lembaga antikorupsi."
"Hal tersebut tercermin dari ketidakseriusan dan lemahnya penegakan hukum tindak pidana korupsi serta pengawasan terhadap pelaksanaannya," kata Arif kepada Tribunnews.com, Rabu (1/9/2021).
Hal itu terlihat ketika yang bersangkutan hanya mendapat sanksi sebatas pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Padahal seharusnya, apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran berat, maka seharusnya juga diberlakukan sanksi pengunduran diri sebagai Dewan Pengawas dan Pimpinan.
"Perdewas 2/2020 dijelaskan bahwa yang termasuk pelanggaran berat yaitu pelanggaran yang memberikan dampak dan kerugian terhadap negara."
"Selanjutnya sanksi berat yang dimaksud tak hanya sebatas pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan tetapi juga terdapat sanksi berupa diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Dewan Pengawas dan Pimpinan," kata Arif.
2. ICW Nilai Terlalu Ringan
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menilai putusan Dewas KPK terhadap Lili Pintauli terlalu ringan.
Mengutip Tribunnews.com, Lili dinyatakan bersalah melanggar Pasal 4 Ayat 2 huruf b dan a Peraturan Dewas nomor 02 tahun 2020 tentang penegakan kode etik dan pedoman perilaku KPK dengan hanya diberikan sanksi pemotongan gaji.
Menurut Kurnia, sanksi yang diberikan yakni dengan hanya pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan tersebut, dianggap Kurnia tidak sebanding dengan perbuatan Lili.
Mengingat, Lili telah memanfaatkan jabatannya sebagai pimpinan KPK untuk kepentingan keluarganya.
Untuk itu, Kurnia meminta yang bersangkutan untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisioner KPK.
"Perbuatan Lili Pintauli dapat disebut sebagai perbuatan koruptif, sehingga Dewan Pengawas seharusnya tidak hanya mengurangi gaji pokok Lili, tetapi juga meminta yang bersangkutan untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisioner KPK," kata Kurnia.
Tak hanya itu, ICW juga meminta agar Dewas KPK melaporkan Lili Pintauli Siregar ke pihak kepolisian.
3. PUKAT UGM Minta Lili Mundur
Desakan agar Lili mundur dari jabatannya juga dilontarkan peneliti PUKAT UGM.
Hal tersebut diungkap oleh Zaenur Rohman melalui Kompas Tv Rabu (1/8/2021).
Menurut Zaenur, Lili selaku pimpinan KPK sudah tidak layak lagi menjabati posisinya.
"Bagi Pimpinan KPK yang telah dijatuhi hukuman berat, sudah tidak layak lagi menjabat di KPK," kata Zaenur.
Menurutnya, putusan Dewan Pengawas KPK terhadap Lili, terlalu lembek.
Padahal pelanggaran yang dilakukan Lili dapat dikategorikan, sebagai pelanggaran pidana.
Untuk itu, kata Zaenur, jika proses etik tidak dapat memberhentikan Lili dari posisi Wakil Ketua KPK, dirinya berharap proses pidana nantinya dapat menjadi solusi.
Hal ini harus dilakukan, agar kedepan siapapun yang melakukan pelanggaran berat di KPK tidak dapat lagi menduduki jabatannya.
"Jika proses etik tidak dapat memberhentikan Wakil Ketua KPK yang melakukan pelanggaran berat ini, saya berharap proses pidana nantinya menjadi solusi agar siapapun yang melakukan pelanggaran berat di KPK tidak dapat lagi menduduki posisinya," terang Zaenur.
4. Lingkar Madani Minta Lili Dirumahkan
Tribunnews.com memberitakan, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti berpendapat, hukuman pemotongan gaji 40 persen selama setahun bagi Lili yang terbukti melanggar masih terlalu enteng.
Harusnya, menurut dia, Dewan Pengawas KPK menonjobkan Lili atau tidak diberikan peran dalam pencegahan maupun penindakan.
"Kalau tindakan itu berat yang pertama paling minimal adalah yang bersangkutan dinon-job kan minimal 1 tahun tuh."
"Jadi dia ibaratnya dibersihkan dulu nggak diberikan peran apa pun," ujar Ray dalam diskusi daring bertajuk "Putusan Dewas KPK Ciderai Keadilan Publik" yang diadakan pada Rabu (1/9/2021).
Dia mengatakan pelanggaran etik yang dilakukan Lili sangat fatal dimana terbukti salah satunya melalukan komunikasi dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK.
Akan tetapi mesti dijatuhi hukuman berat, Lili masih diberikan kepercayaan untuk menjalankan perannya sebagai Wakil Ketua KPK.
"Bayangan saja yang berat itu minimal dinyatakan tidak boleh memegang peranan apapun di KPK alias non-job setidaknya dalam satu tahun. Ya dirumahkan dulu," kata Ray.
"Jadi yang paling berat tentu saya diberhentikan dan kebayang lah sama kita kalau Dewas KPK sampai ke sana," tambahnya.
Lebih lanjut, Ray mempertanyakan cara berpikir Dewan Pengawas KPK yang memberikan hukuman yang dianggap masih terlalu ringan.
Pasalnya, masih ada hukuman yang jauh lebih berat bisa diputuskan terhadap Lili.
"Ini Dewas KPK cara berpikirnya bagaimana?," kata dia.
5. Mantan Pimpinan KPK Menyayangkan
Artikel Tribunnews.com, Mantan Pimpinan KPK periode 2007-2011, Mochammad Jasin ikut menyayangkan terkait keputusan Dewan Pengawas KPK yang tidak meminta Lili Pintauli Siregar mundur setelah terbukti melanggar kode etik.
Padahal, menurut Jasin, keberadaan Tumpak Hatorangan sebagai Ketua Dewas seharusnya bisa menjaga kredibilitas lembaga antirasuah tersebut.
Terlebih, lanjut Jasin, saat memimpin KPK di masa silam, Tumpak Hatorangan juga kerap memecat para pegawai KPK yang terbukti melanggar kode etik.
Untuk itu, Jasin mempertanyakan sikap Tumpak Hatorangan yang tidak memberi sanksi berat ketika ada pimpinan KPK yang melanggar kode etik.
"Pak Tumpak ini sangat berintegritas dan sudah cukup bagus dalam membangun KPK menjadi lembaga yang bisa dicontoh dan menjadi role model."
"Pak Tumpak ini juga ikut memecat para pegawai yang melanggar kode etik."
"Nah giliran kepada pimpinan? Pak Tumpak pernah lho ya (ikut memecat, red) karena yang punya hak memecat dan mengangkat pegawai itu pimpinan KPK," ujar Jasin, dikutip dari tayangan Youtube Kompas TV, Rabu (1/9/2021).
Jasin pun kemudian menceritakan, saat dirinya memimpin KPK dulu, kesalahan sekecil apapun pasti akan mendapat sanksi berat hingga dipecat.
Menurutnya, hal itu dilakukan demi menjaga marwah KPK sebagai lembaga yang berintegritas dan menjadi contoh.
Untuk itu, Jasin heran lantaran kesalahan Lili Pintauli yang melanggar kode etik justru hanya diberi sanksi pemotongan gaji.
"Lha ini kita merasa senang ada Pak Tumpak di Dewas ternyata kapasitas dari Dewas ini lebih kecil dari pengawas internal sebelumnya yang dipimpin Deputi Pengawas Internal."
"Ada sanksi berat kenapa tidak meminta pengunduran diri sebagai pimpinan KPK? kan enak kalau itu direspons oleh masyarakat," jelas Jasin.
Sehingga, Jasin menilai, keputusan Dewas tidak meminta Lili Pintauli mundur karena merasa tidak enak dengan pimpinan KPK.
"Kesimpulan saya sementara, dari Dewas ini ewuh pakewuh dengan pimpian, dia takut buat kegaduhan nanti ditegur oleh yang ngangkat," ujarnya.
6. PKS Minta Lili Diberhentikan
DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti kasus Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang melanggar dua perkara, yaitu penyalahgunaaan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan orang yang sedang beperkara di KPK.
Atas dasar itu, Dewan Pengawas KPK telah memberikan sanksi berupaya pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Ketua Departemen Politik DPP PKS Nabil Ahmad Fauzi mengatakan sanksi pelanggaran berat yang diberikan kepada Pimpinan KPK tersebut seharusnya tindakan yang lebih tegas.
"Dengan situasi sorotan kepada KPK akhir-akhir ini, maka demi integritas lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, maka sepatutnya sanksi terhadap Wakil Ketua KPK tersebut adalah diberhentikan dari jabatannya atau beliau mengundurkan diri atau bahkan diproses ke ranah pidana karena melanggar Undang-Undang KPK," kata Nabil kepada wartawan, Rabu (1/9/2021).
Nabil menjelaskan dalam Pasal 36 ayat (1) UU KPK, melarang pimpinan KPK mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.
Selain itu, Nabil juga menyatakan penting bagi KPK untuk memberikan tindakan tegas atas setiap pelanggaran yang terjadi, terlebih pada level pimpinan KPK.
Setelah sebelumnya Ketua KPK juga diberi sanksi etik, kini Wakil Ketua yang juga terkena sanksi berat.
"KPK ujung tombak pemberantasan korupsi di negeri ini. Maka setiap pelanggaran etik oleh pimpinan akan berdampak besar."
"Terutama terhadap kepercayaan publik atas keseriusan pemberantasan korupsi di Indonesia."
"Jika dibiarkan, boleh jadi pemberantasan korupsi semakin kehilangan ruhnya."
"Sudah seharusnya presiden mengambil perhatian khusus terhadap masa depan KPK," ujarnya.
7. Novel Baswedan Singgung Penegak Hukum
Penyidik nonaktif KPK, Novel Baswedan, Rizka Anungnata, dan mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi KPK Sujanarko, meminta Dewan Pengawas KPK melaporkan Lili Pintauli Siregar secara pidana kepada penegak hukum.
"Laporan pidana ini didasarkan kepada putusan Dewan Pengawas yang menyatakan bahwa LPS (Lili Pintauli Siregar) terbukti secara sah telah menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan pihak lain yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK," kata Novel lewat keterangan tertulis, Kamis (2/9/2021).
Novel menjelaskan, tindakan penyalahgunaan kuasa yang dilakukan Lili untuk kepentingan pribadi melanggar Pasal 4 ayat (2) huruf a dan b Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020.
Dewas KPK juga membeberkan banyak temuan dan bukti tentang pelanggaran Lili dalam pasal itu saat pembacaan putusan etik.
"Secara tidak langsung Dewan Pengawas menyatakan bahwa seluruh tindakan LPS yang dibuktikan secara sah tersebut, juga telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002."
"Pelanggaran terhadap Pasal 36 Undang-Undang 20 Tahun 2002 artinya telah terjadi pelanggaran pidana," kata Novel.
Atas dasar itu, Novel meminta Dewas KPK melaporkan Lili ke penegak hukum.
Novel meminta Dewan Pengawas KPK tegas kepada Lili Pintauli Siregar.
"Bahwa sudah menjadi prinsip mendasar bagi lembaga pengawas termasuk BPKP, BPK, dan lembaga pengawas lainnya, bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, lembaga pengawas wajib melaporkannya ke pihak yang berewenang (penegak hukum)," ujar Novel.
(Tribunnews.com/Chrysnha/Galuh Widya Wardani/Ilham Rian Pratama/Inza/Chaerul Umam)