Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim menilai kewenangan pemerintah memutus akses publik ke media siber terlalu besar.
Untuk itu, ia selaku perwakilan pemohon organisasi mengajukan permohonan gugatan uji materi pasal 40 ayat 2b Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (ITE).
Sasmito menjelaskan permohonan yang diajukan pihaknya kepada Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan bagian dari upaya hukum yang ditempuh untuk memperjuangkan kebebasan pers.
Menurutnya gugatan yang diajukan tersebut merupakan upaya untuk mengkoreksi aturan yang menurut pihaknya sangat sewenang-wenang.
Ia menjelaskan pada pasal 40 ayat 2 UU ITE dijelaskan pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, lanjutnya, di pasal 2a disebutkan pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lalu, di pasal 2b yang digugat tersebut berbunyi: Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat 2a, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Sasmito mengatakan pasal tersebut juga bisa ditafsirkan memberikan kewenenangan kepada pemerintah untuk melakukan pemutusan akses terhadap media massa khususnya media siber.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Telah Panggil MAKI untuk Sidang Uji Materi TWK KPK
Hal tersebut disampaikannya dalam Konferensi Pers Virtual Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kebebasan Pers yang disiarkan di kanal Youtube AJI Indonesia, Rabu (1/9/2021).
"Jadi teman-teman bisa membayangkan kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk memutus akses publik ke perusahaan media siber. Ini sangat kuat sekali kewenangan yang dimiliki pemerintah," kata dia.
Ia mengatakan pihaknya melihat hal tersebut telah terjadi khususnya pada media Suara Papua yang akses menuju medianya diputus pemerintah dengan alasan mengandung muatan negatif pada 2019 lalu.
Sasmito mengatakan apa yang dimaksud muatan negatif tersebut juga tidak dijelaskan secara gamblang.
Bahkan, lanjut dia, konten mana yang yang dimaksud bermuatan negatif juga tidak dijelaskan pemerintah.