Laporan wartawan Tribunnews.com Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permasalahan keterbukaan informasi dianggap menjadi masalah serius hingga membuat pegawai non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nasibnya terombang ambing dalam proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Terkini, kelanjutan perkara Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dilaporkan tiga pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK dalam proses alih status pegawai KPK, yakni Hotman Tambunan, Ita Khoiriyah, dan Iguh Sipurba.
Mereka menempuh gugatan keterbukaan informasi TWK KPK kepada Komisi Informasi Pusat (KIP).
Narasi yang diangkat ketiga pegawai KPK tersebut adalah seharusnya masing-masing pegawai yang mengajukan permohonan informasi dapat memperoleh data-data pribadi seperti hasil tes wawasan kebangsaan tersebut.
Hotman mengatakan syaratnya melalui pemberian persetujuan tertulis kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Data (PPID) KPK untuk mengakses informasi tersebut telah dilakukan, namun informasi itu tidak juga diberikan.
Baca juga: Jampidsus Pamer Kinerja Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Lebih Baik dari KPK dan Polri
"Para pegawai KPK teleh mengajukan permohonan melalui mekanisme PPID sesuai dengan undang-undang, namun KPK tetap tidak memberikan informasi hasil TWK," ujar Hotman, dalam keterangannya, Rabu (15/9/2021).
Hotman menegaskan hal itu sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 Ayat (2) huruf a Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Dalam sidang perdana Komisi Informasi, Ketua Majelis Komisioner KIP Gede Narayana menyebutkan bahwa gugatan yang diajukan tiga pegawai KPK tersebut di antaranya;
Pertama, landasan hukum penentuan unsur-unsur yang diukur dalam asesmen TWK;
Kedua, landasan hukum penentuan kriteria memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) dalam asesmen TWK;
Baca juga: KPK Apresiasi Dedikasi 57 Pegawai yang Bakal Diberhentikan Akhir Bulan Ini
Ketiga, nama dan sertifikat asesor atau pewawancara serta lembaga atau institusi asal asesor atau pewawancara;
Keempat, kertas kerja asesor atau pewawancara;
Kelima, berita acara penentuan lulus dan tak lulus oleh asesor;
Keenam, hasil asesmen TWK.
Poin-poin gugatan disampaikan Gede dalam sidang virtual Penyelesaian Sengketa Informasi Publik antara Pegawai KPK terhadap KPK disiarkan langsung melalui kanal Youtube Komisi Informasi Pusat pada Senin (13/9).
Menurutnya, keterbukaan informasi publik seharusnya menjadi sebagai resep mujarab untuk mengobati tabiat introvert pemerintah sejak awal kemunculannya.
Baca juga: Janjinya Pegawai Tak Lolos TWK KPK Dipecat 1 November, Kenapa Jadi 30 September?
Produk hukum untuk mengobati masalah pemerintah ini akhirnya dipilih dan resmi dapat dikonsumsi masyarakat pada 30 April 2008, yang dilabeli dengan nama UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik atau disingkat UU KIP.
Gairah ‘hak untuk tahu’ masyarakat sejak saat itu mendapatkan jaminan konstitusi, lengkap dengan institusi KIP yang kini dipimpin Gede Narayana.
Dalam UU KIP, informasi wajib dikeluarkan lembaga publik bermanfaat bagi evaluasi bagi lembaga itu sendiri, tak terkecuali jika evaluasi itu menyangkut pemidanaan eksekutifnya (jika terbukti bersalah). Syaratnya, ada masyarakat cerdas yang mampu mengolah informasi terbuka, lalu menjadi whistle blower bagi perbaikan lembaga tersebut.
Jika ada lembaga yang enggan melakukan transparansi data dan informasi kepada pemohon, dapat diseret ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melalui lembaga Komisi Informasi yang keberadaannya telah diatur dalam UU KIP.
Komisi Informasi (2018) menyebut lembaganya telah menangani 2.083 sengketa informasi yang harus disidangkan antara pemohon terhadap orang perseorangan, kelompok orang, badan hukum dan badan publik yang masih tidak memenuhi ketentuan KIP.
Sengketa informasi dominannya berkaitan dengan berbagai ‘hak ingin tahu’ masyarakat atas kasus yang dialaminya, berupa pemecatan semena-mena, perkara ketidaklulusan peserta didik pada lembaga akademik, informasi dana desa, dan kasus-kasus sengketa lahan.
Gugatan yang dilayangkan Hotman dan kawan-kawan, sebenarnya sudah sesuai jalur hukum yang tersedia.
Namun, publik pesimis bahwa lembaga KIP dapat menjadi solusi bagi masalah TWK KPK.
Bahkan, rekomendasi dari lembaga Ombudsman dan Mahkamah Konstitusi pun tak bertaring bagi pimpinan KPK.
Pimpinan KPK tampaknya melihat kebijakan yang sudah diambilnya sudah final. Bahkan, penyidik senior nonaktif KPK Novel Baswedan menyebutkan pegawai nonaktif KPK ditawari untuk bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) supaya tidak lagi menggugat keputusan hasil assessmen menjadi ASN KPK.
Menurut Novel, tawaran itu merupakan bentuk penghinaan.
“Kawan-kawan memilih di KPK karena ingin berjuang untuk kepentingan negara dalam melawan korupsi, tidak hanya untuk sekedar bekerja,” kata Novel, saat dikonfirmasi, Selasa (14/9/2021).
Dia pun menilai, perbuatan tersebut merupakan langkah sewenang-wenang.
Hal ini dinilai semakin nyata untuk menyingkirkan pegawai KPK berintegritas.
“Perbuatan Pimpinan yang melawan hukum, sewenang-wenang, ilegal dan tidak patut sebagaimana dikatakan oleh Komnas HAM untuk menyingkirkan 75 pegawai KPK tertentu tersebut kami lawan, karena menghabisi harapan pemberantasan korupsi. Jadi ini bukan semata masalah pekerjaan saja,” tegas Novel.
Berbeda dengan apa yang digugat pegawai non aktif, Pakar Hukum Universitas Al-azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad justru menekankan bahwa keputusan final bukan berada di tubuh pimpinan KPK, melainkan berada di tangan pemerintah.
Dalam hal ini adalah Presiden Jokowi.
Argumen Suparji didasarkan pada berkas putusan putusan uji materi Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diajukan oleh pegawai KPK beberapa waktu lalu.
Menurut putusan MA, gugatan terhadap Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 yang menjadi dasar TWK tidak tepat. Sebab, hasil asesmen TWK itu bukan kewenangan KPK, melainkan pemerintah.
“Putusan Mahkamah Agung (MA), hasil asesmen TWK bagi pegawai KPK menjadi kewenangan pemerintah. Selama pemerintah, dalam hal ini presiden Jokowi, tidak melakukan keputusan apapun, sebaiknya pimpinan lembaga antirasuah juga melakukan hal yang sama,” ujarnya, Rabu (15/9/2021).
Senada dengan itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto meminta Presiden Jokowi segera mengambil sikap terkait nasib pegawai KPK non aktif.
"Presiden Jokowi punya kesempatan untuk menunjukkan komitmennya pada aspirasi publik dan menentukan sikap yang jelas bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar Sigit, saat dikonfirmasi melalui keterangan tertulis, Rabu (15/9/2021).
Argumen Sigit didasarkan pada temuan Ombudsman RI dan Komnas HAM yang masing-masing menemukan malaadministrasi dan pelanggaran HAM.
Meskipun, temuan kedua lembaga tersebut sudah tertolak di hadapan MK.
Namun, menurut Sigit argumen masing-masing lembaga tersebut menunjukkan triangulasi terhadap alih status pegawai KPK melalui asesmen TWK tidak relevan, tidak kredibel, dan tidak adil.
"Dengan demikian, saat ini tersisa dua argumen untuk membela nasib pegawai non aktif KPK. Pertama, uji materi keterbukaan informasi publik KPK, dan kedua sikap Presiden Jokowi terhadap keputusan final nasib pegawai non-aktif. Mana yang akan berhasil? Kita tunggu tangan Tuhan bekerja," katanya.