Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan catatan kritisnya menjelang masa pergantian Panglima TNI yang dinilai perlu diperhatikan presiden ataupun DPR.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar mengatakan catatan kritis tersebut berangkat dari sejumlah pemantauan melalui media, pendampingan kasus, serta kebijakan-kebijakan, atau keputusan yang diambil selama kepemimpinan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
Pemantauan tersebut, kata Rivanlee, dilakukan selama kurang lebih tiga tahun yakni dari 2018 sampai September 2021.
Rivanlee mengatakan catatan tersebut terkait sejumlah permasalahan yang hadir di tubuh TNI.
Pertama yakni terkait kembalinya TNI ke ranah sipil.
Baca juga: Sosok Staf Khusus Panglima TNI Letjen TNI Tiopan Aritonang, Bukan Orang Baru Marsekal Hadi
Terkait yang pertama KontraS menilai ada upaya yang dilakukan TNI atau melibatkan TNI pada ranah-ranah sipil di antaranya penempatan perwira non job pada ranah sipil.
Selain itu KontraS juga menilai ada keterlibatan berlebihan TNI dalam penanganan pandemi covid-19 meski keterlibatan TNI diperbolehkan dengan catatan tunduk pada otoritas sipil dan proporsional.
KontraS juga menyoroti keterlibatan TNI dalam penanganan aksi massa yang dinilai mengkhawatirkan mengingat berpotensi menimbulkan sejumlah konflik dengan masyarakat dan tindakan yang di luar prosedur.
KontraS juga menyoroti Komponen Cadangan sebagai penerapan UU PSDN.
Menurut Rivanlee, meskipun hal tersebut di bawah kewenangannya Kementerian Pertahanan namun pelibatan anggota TNI dalam pembinaannya dikhawatirkan tidak hanya diperuntukkan untuk masalah-masalah yang sifatnya eksternal sebagaimana tugas TNI.
Baca juga: 150 Perwira Tinggi TNI yang Dimutasi, Berikut Daftar Namanya, Termasuk Wakil KSAU dan Pangdam XII
Kedua, terkait okupansi lahan oleh TNI.
Selama kurang lebih tiga tahun, kata dia, terjadi kasus-kasus okupasi lahan oleh TNI yang disertai intimidasi baik dengan praktik kekerasan atau intimidasi secara verbal kepada warga di daerah-daerah tertentu.
Ia mencontohkan terkait kasus Besipae di NTT dan Urut Sewu.
Rivanlee mengatakan pihaknya melihat dalam hal tersebut TNI menggunakan prinsip kekuatannya saja tanpa melahirkan solusi ketika warga harus pindah dari tempat tinggalnya.
Ia menilai pendekatan keamanan dalam okupansi lahan tidak mampu menyelesaikan masalah agraria.
"Konsekuensinya dia melahirkan pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dari hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sampai dengan hak atas tempat tinggal bagi warga-warga yang menjadi korban dari okupansi yang dilakukan oleh TNI," kata Rivanlee saat konferensi pers secara daring pada Kamis (16/9/2021).
Ketiga, terkait disharmonisasi antara Polri dan TNI.
Menurut Rivanlee sepanjang kepemimpinan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto setidaknya ada 19 konflk antara TNI dan Polri yang berupa penganiayaan, penembakan, bentrokan, perusakan fasilitas, dan intimidasi.
Menurutnya konflik tersebut harus dilihat sebagai kerangkan pembangkangan terhadap peraturan TNI karena TNI tidak bisa semata-mata main hakim sendiri sekalipun yang melakukan kesalahannya itu anggota kepolisian.
Dia menilai ketika hal tersebut terus dibiarkan maka dikhawatirkan akan berimplikasi menjadi contoh yang buruk kepada publik dan akan melahirkan kelompok-kelompok vigilante yang kerap tumbuh karena sering diperlihatkan praktik-praktik kekerasan alat-alat negara.
"Ini juga menjadi catatan karena peristiwa ini bukan hanya terjadi pada masa Hadi Tjahjanto saja, tetapi sudah turun temurun, seolah ada knowledge gap antara perwira tinggi dengan prajuritnya di bawah dalam memberikan arahan atau memberikan sanksi atau ketegasan atas tugas-tugas dan fungsinya anggota TNI," kata Rivanlee.
Keempat, terkait kekerasan dan diskriminasi di Papua.
Peneliti KontraS Rozy Brilian mengatakan KontraS mencatat setidaknya terjadi 58 peristiwa kekerasan terhitung sejak Januari 2018 di Papua.
Peristiwa tersebut, kata dia, itu telah mengakibatkan 135 orang luka dan 69 lainnya tewas.
Ia menyoroti terkait kasus pembunuhan Pendeta Yeremia di Papua yang berdasarkan investigasi dilakukan oleh oknum TNI.
Permasalahan lain yang juga disorot yakni pembangunan Komando Resor Militer atau Korem di Waluwaga di Jayawijaya.
Ia mengatakan Korem tersebut dibangun di atas tanah adat dan tanpa persetujuan dengan masyarakat.
Rozy juga menyoroti kebijakan pemerintah yang meletakan KKB sebagai organisasi teroris.
Selain itu, ia juga menyoroti pendekatan militeristik di Papua yang menurutnya tidak memperbaiki situasi keadaan di Papua.
"Terbukti tidak efektif dan justru cenderung memperpanjang rentetan kekerasan di Papua selama ini," kata Rozy.
Kelima, terkait keterbukaan informasi.
Menurutnya keterbukaan informasi TNI juga menjadi salah satu persoalan yang serius.
Soal transparansi dan akuntabilitas, lanjut dia, tercermin dalam hal yang berkaitan dengan aksesibilitas masyarakat mengakses informasi melalui pejabat pengelola informasi dan komunikasi.
Menurutnya KontraS sering menemukan pihak TNI mengatakan beberapa informasi publik sebagai informasi yang dikecualikan lewat UU keterbukaan informasi.
"Maka kami melihat ini tidak boleh dilanjutkan dan harus menjadi perhatian serius dari DPR, pemerintah yang kemudian melakukan pengawasan terhadap panglima dan kinerja dari TNI ke depan," kata dia.
Keenam terkait problem reformasi peradilan militer yang selama ini belum berhasil diubah.
Ia mengatakan reformasi peradilan militer menjadi penyakit akut dan menahun institusi militer.
Ia melihat bahwa permasalahan terakhir terkait reformasi peradilan militer tidak kunjung ada itikad baik dari negara.
Karena menurutnya selama ini tingginya angka kekerasan yang dilakukan TNI setiap tahunnya menandakan ada urgensi atau desakan kepada pemerintah untuk memperbaiki satu mekanisme pertanggungjawaban hukum yang ada dalam institusi militer.
Menurut catatan KontraS, kata dia, ditemukan ada kecenderungan tindak pidana yang dilakukan oknum anggota militer yang berkelindan dengan tindakan pidana itu cenderung diselesaikan lewat mekanisme peradilan militer.
"Dan kami menilai reformasi peradilan militer ini merupakan salah satu agenda yang harus menjadi perhatian khusus dari Panglima TNI selanjutnya. Sebab mekanisme ini sering dijadikan dalih mangkirnya aparat dalam sejumlah tindak pidana atau pelanggaran HAM," kata dia.