Aldi menjelaskan, terkait dengan pertanggungjawaban direksi tersebut, terdapat suatu doktrin dalam tatanan hukum Indonesia yang dikenal dengan doktrin Business Judgement Rule (BJR), dimana doktrin Business Judgement Rule ini menjadi pilar yang penting bagi perlindungan direksi dalam pengambilan keputusan.
Doktrin tersebut pada pokoknya mengatakan bahwa direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kesalahan pengambilan keputusan dan/atau karena kerugian perseroan.
Aldi Andhika Jusuf, S.H., M.H., Partner K&K Advocates mengatakan, sebagai badan usahan milik negara, BUMN memiliki peran ganda yakni sebagai agent of development sekaligus sebagai business entity.
BUMN menjadi perpanjangan tangan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat, namun di sisi lain sebagai entitas perusahaan, BUMN juga wajib memperoleh keuntungan (profit oriented).
Baca juga: Holding BUMN UMi, Wakil Ketua MPR: Langkah yang Tepat untuk Daya Saing UMKM
"Akan tetapi, dalam menjalankan usahanya BUMN dan Anak Perususahaan BUMN dapat saja mengalami kerugian akan menjadi suatu permasalahan apabila dihadapkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi BUMN itu sendiri.
Terutama jika kerugian tersebut dianggap sebagai kerugian keuangan negara, bukan sebagai entitas bisnis," kata Aldi.
Berdasarkan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), pengurus dan pegawai BUMN dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana atas dugaan tindak pidana korupsi karena menyebabkan kerugian keuangan negara.
“Hal inilah yang menjadi kekhawatiran direksi BUMN dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam mengelola, mengatur dan mengambil keputusan terkait dengan bisnis yang dijalankan BUMN sehari-hari,” ungkap Aldi Andhika Jusuf, S.H., M.H., Partner K&K Advocates.