TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hotman Tambunan menyebut sejumlah pegawai aktif KPK dipanggil pihak Inspektorat.
Hal itu dikarenakan para pegawai aktif KPK mendukung 56 pegawai nonaktif yang akan diberhentikan dengan hormat pada 30 September 2021 mendatang.
Hotman menerangkan, para pegawai aktif menginginkan agar pimpinan KPK bisa menjalankan rekomendasi dari Ombudsman RI dan Komnas HAM untuk menyelesaikan polemik tes wawasan kebangsaan (TWK).
Kata dia, dukungan dari para pegawai KPK tersebut merupakan aksi solidaritas.
"Solidaritas itu kan ada kali yaitu sebelum dilantik jadi ASN (mereka kirim surat ke pimpinan agar pelantikan ditunda). Kemudian, setelah keluar putusan ORI dan Komnas HAM (mereka kirim surat ke pimpinan agar melaksanakan rekomendasi ORI dan Komnas HAM)," kata Hotman saat dikonfirmasi, Senin (20/9/2021).
Hotman menyayangkan pemanggilan pihak Inspektorat KPK kepada para pegawai aktif tersebut.
Dia menilai, seharusnya hal itu merupakan kewenangan Dewan Pegawas KPK.
Baca juga: Anggota Ombudsman Dapat Intervensi Saat Investigasi TWK Pegawai KPK
"Jika mereka dipanggil untuk diperiksa, Inspektorat enggak ada kerjaan itu, tak bisa memposisikan diri dan tak punya marwah. UU kan sebut urusan etik itu ada di Dewas bukan di inspektorat, KPK itu unik, dengan UU 19/2019 ini dengan Dewas enggak perlu itu pemeriksaan dihadiri," ujar Hotman.
Bahkan sejak Jumat (17/9/2021), sejumlah pegawai KPK melakukan aksi solidaritas dengan mengunggah gambar pita hitam di akun WhatsApp masing-masing.
Aksi ini dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap 56 pegawai yang akan diberhentikan dengan hormat pada 30 September 2021.
"Aksi spontan, tidak direncanakan. Dilakukan oleh pegawai KPK sebagai bentuk kepedulian dan empati terhadap kondisi pegawai 56 dan kondisi lembaga KPK saat ini," ucap sumber internal KPK yang enggan disebut identitasnya.
Sumber internal KPK ini pun mengakui, aksi ini merupakan bentuk dukungan terhadap 56 pegawai KPK.
Hal ini juga sekaligus memberi sinyal sebagai kecintaan terhadap lembaga KPK yang sedang krisis kepercayaan publik.
Bahkan, sumber internal ini pun meminta agar pimpinan KPK yang dikomandoi Firli Bahuri meninjau ulang pemecatan terhadap 56 pegawai KPK.
Terlebih bisa menjalankan rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM terkait temuan asesmen TWK yang dinilai malaadminitrasi dan melanggar HAM.
"Pemecatan ditinjau ulang, penuhi hak rekan 57 (termasuk pelantikan sebagai ASN), dan pimpinan KPK melaksanakan rekomendasi presiden, ombudsman, MK, komnas HAM, dan MK. Pegawai juga berharap agar pimpinan yang terbukti melakukan pelanggaran etik dapat segera diganti," harap pegawai KPK tersebut.
Meski demikian, pimpinan KPK tetap akan memberhentikan 56 pegawai KPK pada 30 September 2021.
Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan, pemecatan terhadap 56 pegawai KPK dilakukan, karena asesmen TWK telah dinyatakan sah dan tidak melanggar hukum berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26 Tahun 2021 dinyatakan tidak diskriminatif dan konstitusional.
Selain itu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tatacara Alih Pegawai KPK menjadi ASN berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 34 Tahun 2021 dinyatakan bahwa Perkom tersebut konstitusional dan sah.
Mantan Kapolda Sumatera Selatan ini pun membantah, pihaknya mempercepat pemecatan terhadap Novel Baswedan dkk yang seharusnya pada 1 November 2021, kini maju pada 30 September 2021.
Dia mengutarakan, pemecatan boleh dilakukan sebelum batas maksimal proses alih status rampung berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Oleh karena itu, Firli menegaskan pihaknya akan kembali menindaklanjuti asesmen TWK yang merupakan syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.
"KPK akan melanjutkan proses peralihan pegawai KPK jadi ASN. Karena masih ada hal-hal yang harus ditindaklanjuti sebagaimana mandat UU dan PP turunannya," kata Firli.