News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Etnografer: Butuh 10 Tahun Adaptasi Hadapi Perubahan Peradaban Manusia, Masyarakat Harus Kuat Mental

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Etnografer Evi Aryati Arbay

Laporan Wartawan Tribun Network, Willy Widianto 
 
 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak terbantahkan, pandemi covid-19 saat ini mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia. Perubahan perilaku dan peradaban manusia ini tentu saja membuat semua pihak kaget dan mengalami 'jet lag' alias gegar budaya.

Setidaknya membutuhkan waktu 10 tahun bagi umat manusia untuk beradaptasi dengan perilaku dan peradaban baru seperti sekarang ini.

"Mungkin perlu 10 tahun bagi manusia untuk terbiasa menerima satu perubahan peradaban secara mendadak seperti ini, kita dulu bahkan membayangkan dunia pada tahun 2020 itu sudah ada mobil terbang tapi nyatanya sampai tahun 2021 ini malah kita semua di seluruh dunia “dipaksa” untuk belajar pakai masker dan menjaga kebersihan. Sementara untuk keluar dari pandemi itu sendiri tidak ada yang tahu pasti kapan kita bisa mencapainya apalagi jika kita memang harus menunggu sampai herb immunity itu tercapai," kata Etnografer Evi Aryati Arbay saat berbincang dengan Tribun usai acara Webinar Etnografi Visual yang diselenggarakan Fakultas Antropologi Universitas Diponegoro, Senin(20/9/2021).

Contohnya saja lanjut Evi, Indonesia punya penduduk 270 juta sementara berapa banyak vaksin yang sudah kita punya begitu pula negara lain sehingga perlu dan telah dipikirkan jalan tengah agar pandemi ini menjadi sebuah endemi. "Sebagai skenario kedua karena effectnya sudah sangat luar biasa, menyentuh semua lini kehidupan manusia” ujarnya.

Baca juga: Masih Banyak Kasus Meninggal, Pemerintah Perluas Jangkauan Vaksinasi ke Lansia

Baca juga: Adaptasi Pandemi, Bisnis UMKM Disarankan Segera Bermigrasi ke Platform Digital

Jadi kata dia tidak hanya berdampak kepada kunjungan wisata ekonomi dan lain-lain, tetapi juga kepada peradaban manusia. Karena itu lanjut dia masyarakat harus kuat mental menghadapi perubahan peradaban manusia mendadak seperti sekarang ini.

Baca juga: 3 Strategi Kemenparekraf Bangkit saat Pandemi, Sandiaga Uno: Inovasi, Adaptasi, dan Kolaborasi

"Kalau bicara peradaban dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, penggunaan tools teknologi lebih dominan daripada sebelummya," ungkapnya.

"Interaksi antar manusia mesti bisa ketemu dengan virtual life, perlu adaptasi tools digital atau virtual, mau enggak mau dipaksa menggunakannya, hidup seperti itu sekarang juga ada real life and virtual life. Saya yakin ini berpengaruh dan melelahkan juga. Karna terlalu lama hidup virtual lebih capai daripada kehidupan riil. Mental harus kuat," ujar Evi.

Etnografer yang mendalami studi tentang masyarakat Papua ini juga menjelaskan saat ini juga ada gap jauh antara kalangan muda, remaja dengan kalangan tua.  Mereka kalangan muda mungkin bisa beradaptasi dengan kondisi seperti sekarang ini dimana seluruh kegiatan dilakukan dengan teknologi digital.

“Untungnya anak muda terbilang cukup adaptif dengan penggunaan teknologi dibanding mungkin orang tua ada gap. Indonesia rasanya cukup bisa mengejar meski terseok-seok karena secara infrastruktur belum memadai, beberapa jaringan suka down sementara bikin orang tergantung jadi harus dipikirkan juga sarana pendukung utama ini” ujarnya.

Pada kesempatan webinar Etnografi Visual yang diselenggarakan Fakultas Antropologi Universitas Diponegoro tersebut, Evi Aryati Arbay juga berpesan agar pembuatan karya etnografi baiknya mampu mengangkat martabat subjectnya dan memikirkan terkait risiko yang ditimbulkan dari sebuah karya visual etnografi itu sendiri sehingga mampu menjawab tantangan disrupsi informasi seperti sekarang ini.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini