TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Airlangga Hartarto tak kuasa menahan air mata saat menghadiri acara haul leluhurnya, seorang ulama besar Jawa bernama Ki Ageng Gribig pada Kamis (23/9/2021) malam.
Mengenakan baju koko lengan panjang yang dipadukan dengan celana bahan warna hitam, ia nampak khusyuk mengikuti kegiatan tersebut.
Bahkan, seluruh peserta yang hadir pun larut dalam suasana haru tersebut.
Airlangga mengenang sosok Ki Ageng Gribig sebagai seorang tokoh agama yang tak kenal lelah dalam mensyiarkan ajaran Islam di Tanah Jawa.
"Ki Ageng Gribig atau yang bernama asli Wasibagno Timur adalah ulama besar yang menyebarkan Islam di Desa Krajan, Jatinom, Klaten dan sekitarnya. Ia juga dikenal masih keturunan dari Raja Majapahit, Brawijaya V," kata Airlangga.
Baca juga: Airlangga Hartarto Tafsirkan Warisan Apem Ki Ageng Gribig untuk Majukan Ekonomi Masyarakat
Ketua Umum Partai Golkar itu menyebut ketokohan dari seorang Ki Ageng Gribig itu harus menjadi contoh dari setiap umat muslim di Indonesia.
Cucu dari Prabu Brawijaya dari Kerajaan Majapahit itu merupakan seorang alim ulama yang terkenal dermawan dan tak pernah pelit untuk membagikan ilmu serta harta yang dimilikinya.
"Saat hidup dia adalah menjadi amir tanah perdikan di Jatinom. Dia adalah penasihat spiritual Raja Mataram Sultan Agung. Atas jasanya Kiai Ageng Gribig dianugerahi putri adik sinuhun bernama Raden Ayu Mas sebagai istrinya," ujarnya.
Selain itu, dia juga diberi kebebasan untuk memilih rumah yang akan ditempati bersama keluargannya.
Namun, karena sikap rendah hatinya yang selalu tertanam di dalam dirinya, akhirnya Ki Ageng Gribig memutuskan untuk tetap tinggal di Klaten.
"Hanya saja Ki Ageng Gribig memilih tinggal di Klaten untuk mengerjakan kerja dakwah. Ki Ageng Gribig berhasil menjadikan Jatinom pusat penyebaran Islam di Jawa," kata dia.
Airlangga menyebut, Ki Ageng Gribig memiliki ciri khas dalam berdakwah dan hingga kini selalu dikenang oleh masyarakat di Klaten.
Salah satu metodenya yaitu dengan membagikan kue dan sembari mengucapkan kalimat “Ya Qowiyyu” dan seterusnya, sebagai doa untuk meminta kekuatan kepada Allah.
Oleh masyarakat, kue ini kemudian dikenal dengan nama kue apem, saduran dari Bahasa Arab, Affan, yang memiliki makna dan filosofi sebagai permohonan ampunan kepada Allah.
Tradisi pembagian kue apem inilah yang kemudian secara rutin dilaksanakan Ki Ageng Gribig, dan kemudian dilanjutkan pula oleh para muridnya dan masyarakat Jatinom sampai sekarang.
Dari penyebutan kata “Ya Qowiyyu” ini pula, tradisi Saparan di Jatinom juga disebut masyarakat dengan nama tradisi “Ya Qowiyyu”.
Peringatan Haul pada momen Saparan ini pula, kemudian pada perkembangannya sekaligus dilaksanakan beberapa rangkaian kegiatan seperti kirab budaya, lomba panahan, dan peringatan haul Ki Ageng Gribig.[]