News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ini Sosok Pakar Hukum Tata Negara yang Ditunjuk Yusril Jadi Ahli untuk Gugat AD/ART Demokrat ke MA

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Yusril Ihza Mahendra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Advokat Yusril Ihza Mahendra membenarkan akan mengajukan judicial review (JR) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat Tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA).

Untuk kepentingan teknis peradilan dalam proses pemeriksaan perkara JR AD/ART Partai Demokrat oleh MA, Yusril juga menghadirkan ahli yang relevan dengan pokok perkara ini.

Salah satunya adalah pakar hukum tata negara Fahri Bachmid.

“Iya benar, saya diminta serta diajukan sebagai Ahli dalam perkara judicial review ini oleh Yusril Ihza Mahendra dan Kantor hukum Ihza & Ihza Law Firm SCBD-Bali Office sesuai kapasitas akademik dan keilmuan saya. Secara lengkap keterangan saya telah disampaikan dan menjadi bagian dari berkas permohonan untuk kepentingan pemeriksaan perkara judicial review di MA," ujar Fahri Bachmid, saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (29/9/2021).

Baca juga: Benny Harman Yakin Terobosan Hukum Yusril Gugat AD/ART Partai Demokrat Bakal Ditolak MA

Menurut Fahri, gugatan AD/ART Demokrat era Agus Harimurti Yudhoyono tersebut merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas melalui suatu terobosan hukum.

"Dan keputusan yang lebih prospektif serta futuristik untuk perbaikan 'kesisteman' partai politik di Indonesia kedepan," ujarnya.

Juga, kata dia, dalam bingkai prinsip negara hukum yang demokratis serta demokrasi konstitusional.

“Ketika Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan ini ke MA, kita secara sadar harus mahfum bahwa masalah AD/ART Partai Politik secara hukum peraturan perundang-undangan kita luput menjangkau serta mengatur soal masalah ini,” katanya.

Sebab secara hipotetis, Fahri mengatakan bagaimana bila AD/ART parpol bertentangan dengan misi dan tujuan parpol seperti yang diatur dalam perundang-undangan partai politik.

Sebab UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota.

“Dan tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan kewajiban bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya,” katanya.

Di sisi lain, kata dia, AD/ART adalah peraturan dasar hukum yang mengatur secara internal parpol. Dijelaskan Fahri, anggota parpol bisa diberhentikan karena melanggar AD/ART partai politik.

Dengan demikian, menurutnya, jika corak dan karaker kepemimpinan parpol yang despotisme, oligarkis, elitisme, serta feodal maka tentu secara hukum sudah tidak sejalan dengan tujuan asasi parpol untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sesuai perintah peraturan perundang-undangan.

“Bahwa memang jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum legal vacuum yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU diatasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan breakthrough secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang,” kata Fahri.

Fahri mengatakan, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum rule breaking penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh MA RI.

Dan secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan.

Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri “rechtsonzekerheid” atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum “rechtsverwarring” itulah urgensi dan pentingnya dari “lagal action” ini sesungguhnya.

“Sehingga berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, maka idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART Partai Politik telah harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum,” paparnya.

Partai Politik berkedudukan sebagai badan hukum publik sesuai putusan MK. Pasal 3 ayat (1) UU 2/2011 menyebutkan Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum.

Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD/ART, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham 34/2017) menyebutkan bahwa pendaftaran partai politik adalah pendaftaran pendirian dan pembentukan partai politik untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai politik.

Selanjutnya Pasal 1 angka 2 Permenkumham 34/2017 kemudian menyebutkan Badan Hukum Partai Politik adalah subjek hukum berupa organisasi partai politik yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, eksistensi Parpol sebagai Badan Hukum Publik juga telah ditegaskan dalam putusan MK Nomor 60/PUU- XV/2017 dan Putusan Nomor 48/PUU- XVI/2018.

Dimana MK telah menerima permohonan sebagai pihak Pemohon dan membenarkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai badan hukum publik sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang.

“Dengan demikian judicial review atas legalitas suatu AD/ART partai sesungguhnya merupakan kontrol hukum terhadap proses politik, yaitu penyusunan AD/ART yang dilakukan oleh internal partai politik,” katanya.

Urgensi judicial review, dikatakan Fahri, sebagai alat kontrol yudisial terhadap konsistensi norma atas produk hukum partai politik dalam bentuk AD/ART dengan UU sebagai peraturan yang lebih tinggi dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum.

Termasuk dan tidak terkecuali AD/ART partai politik sehingga diperlukan adanya institusi serta instrumen kekuasaan kehakiman “judicative power” yang diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara.

Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan.

Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim.

“Akhirnya, persoalan dan konteks ini harus diletakan pada suatu pemahaman bahwa ini merupakan sebuah “Ijtihad konstitusional” atau suatu langkah secara “legal konstitusional” ditempuh untuk mengatasi kekosongan hukum problem pengujian norma AD/ART Parpol serta kontrol yudisial atas fenomena praktik despotisme dan oligarkis partai politik dalam pembentukan aturan pokok partai politik,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini