Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman mengingatkan kepada pihak-pihak lain yang menghembuskan isu bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI), seolah-olah itu ada.
"Jangan kita mengalihkan ke PKI yang sudah dibubarkan dan saat ini sudah, menurut saya, sudah tak ada, kemudian dihembuskan kembali dengan dalil apapun, seakan-akan itu ada," kata Dudung menjawab pertanyaan terkait isu kebangkitan PKI atau komunisme di Indonesia.
Dudung menyampaikan pandangan tersebut saat menjawab pertanyaan warga dalam program Talk Highlight Radio Elshinta Jakarta bertajuk "Menjaga NKRI" bersama Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman yang disiarkan di kanal Youtube Radio Elshinta, Kamis (30/9/2021).
Dudung menilai, jika PKI benar-benar bangkit seharusnya ia telah menerima laporan dari jajaran bawah.
Pasukan di Kostrad, kata dia, memiliki pembinaan teritorial dengan radius 500 meter, 1 km, sampai 5 km.
Dengan demikian apabila terjadi perkembangan signifikan di antaranya kegiatan yang terpengaruh dengan komunisme, kata Dudung, maka pihaknya akan tahu lebih dulu.
Baca juga: Dudung Minta Pernyataan yang Sebut TNI Disusupi Komunisme Dipertanggungjawabkan
Namun demikian, ia menyoroti isu tersebut yang muncul dan digaungkan setiap September. Padahal, kata dia, TNI mewaspadai ancaman ideologi tersebut setiap saat.
"Tak hanya sekedar PKI yang kita waspadai, tapi juga ekstrem kanan juga. Ini yang harus kita waspadai," ujarnya.
Baca juga: Acara Kesenian Alihkan Perhatian Warga Lubang Buaya Saat Malam G30S PKI
Menurutnya kekhawatiran tersebut kadaluarsa dan justru menghadirkan kebohongan yang disamarkan. Seakan-akan, kata dia, kebohongan tersebut terus berulang sehingga masyarakat percaya.
"Padahal itu sudah tak ada. Kita yakin lah. Percaya sama TNI, bahwa TNI itu berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan seluruhnya untuk kepentingan rakyat," kata Dudung.
Baca juga: Saksi Sejarah Ungkap Tragedi G30S PKI Menyisakan Trauma
Terkait hal itu, Dudung menceritakan pengalamannya ketika menjabat sebagai Pangdam Jaya.
Ia mencermati di negara-negara berpenduduk muslim seperti Afghanistan, Irak, Iran, Libya, Lebanon, Kuwait, Mesir, dan sebagainya telah terjadi konflik yang membuat negeri mereka porak poranda.
Sementara di Indonesia sebagai negara dengan umat muslim terbanyak di dunia, ia mensinyalir ketika itu sudah mulai ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan kepentingan politik dan pribadinya menggunakan dalil-dalil agama.
Bahkan, kata dia, kelompok tersebut menjelek-jelekkan pemerintah dengan dalil agama.
"Melihat fenomena seperti ini saya merasa terpanggil," ujarnya.
"Saya sebagai TNI, hal demikian kita tak boleh tinggal diam. Karena cara yang seperti ini berbahaya. Karena jika doktrin sudah masuk ke dalam masyarakat dengan dalil agama, maka ini akan jadi pertaruhan yang sangat luar biasa," kata dia.
Dudung memandang seyogyanya kebijakan pemerintah harus dihargai dan berpegang teguh pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Namun demikian, ketika menjabat sebagai Pangdam Jaya, Dudung menemukan banyak sekali kegiatan-kegiatan kelompok tersebut yang dilakukan sesukanya.
Di antaranya dengan memasang baliho bermuatan ajakan berjihad dan revolusi akhlak tanpa mematuhi aturan yang berlaku.
Menurut dia, kalau tidak ditindak dan ditertibkan, kata Dudung maka hal tersebut akan membahayakan.
Ia juga mengatakan program-program yang dijalankan pemerintah saat ini sudah sangat baik dan hanya segelintir orang yang memprovokasi di media sosial.
"Hanya segelintir orang saya lihat karena ketidakpusasan, yang dulunya tak ada jabatan kembali, berbicara di media sosial, memprovokasi masyarakat, jangan lah seperti itu," ujarnya.
"Dulu pernah menjabat, ya sudah. Mari sekarang serahkan ke generasi penerus, kasihan bangsa ini. Kita salah berbicara, salah berucap, yang jstru dampaknya pada masyarakat," kata Dudung.
Kesaksian Yasin, Penggali Kuburan Jenderal di Lubang Buaya
Yasin (71) adalah saksi sejarah Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI) yang saat ini masih hidup. Dia menceritakan rasa trauma yang kini dialami warga Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Saat peristiwa, Yasin masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Penggerebekan yang dilakukan prajurit PKI ke perkampungan membuat warga ketakutan.
"Penggerebekan besar-besaran membuat trauma warga sekitar," kata Yasin mengisahkan pengalamannya kepada Tribun Network, Kamis (30/9/2021).
Yasin menuturkan pada zamannya warga kampung tidak paham apa yang sebenarnya terjadi.
Menurut dia, sulit membedakan mana PKI dan mana Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
"Orang kampung di sini ibaratnya bodoh dan tidak mengerti persoalan begitu," ucap Yasin yang dulunya berprofesi penjual papan penggilasan.
Ia tidak menampik banyak warga yang dihasut untuk menjadi anggota PKI. Namun, menurutnya, tidak ada satupun warga yang menyiyakan ajakan itu.
"Yang dicari apa saya juga tidak tahu. Orang kampung saat itu sangat takut. Kondisi ekonomi juga sulit berbeda dengan sekarang," ujarnya.
Yasin menjelaskan sebelum peristiwa 30 September 1965, PKI menggelar beberapa persiapan yaitu melatih Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Sepengetahuannya, pemuda yang bergabung pelatihan bukan warga Lubang Buaya. "Mereka orang mana kita juga tidak mengetahui. Orang kita (Lubang Buaya) justru ketakutan," kata Yasin.
Peristiwa Gerakan 30 September alias G30S merupakan peristiwa sejarah kelam yang pernah dialami bangsa Indonesia.
Peristiwa itu adalah tragedi penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu kapten yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September.
Para jenderal tersebut difitnah telah melakukan makar terhadap Presiden Soekarno dan menggabungkan diri sebagai Dewan Jenderal.
Jenazah mereka ditemukan di dalam sumur di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada tanggal 4 Oktober 1965.
Tragedi nasional itu mengawali serentetan peristiwa besar di Indonesia, termasuk tumbangnya pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Ir Soekarno.
Kemudian, Presiden Soeharto selaku pemerintah pada masa orde baru, memerintahkan pembangunan Monumen Pancasila Sakti untuk memperingati peristiwa G30S yang tidak dapat memecah kesaktian Pancasila.
Monumen tersebut mulai dikerjakan pada pertengahan Agustus 1967 dan diresmikan Presiden Soeharto pada 1 Oktober 1973, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila.
Perlu diketahui, kawasan Monumen tersebut dibangun dekat dengan tempat eksekusi korban G30S, yaitu sumur tua di Lubang Buaya.