TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan seorang jaksa yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kepemilikan bendera organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang kini sudah dilarang. Jaksa itu dilaporkan ke Jaksa Agung Mudah Pengawasan Kejaksaan Agung atas dugaan pelanggaran kode etik.
Surat laporan tersebut disampaikan Koordinato MAKI Boyamin Saiman pada Senin (4/10/2021) dan ditujukan ke Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejagung.
“Betul, kami melaporkan agar masalah viral yang memojokan para penyidik KPK yang tidak lolos TWK ini, menjadi jelas,” kata Boyamin.
"Bahwa atas polemik bendera tersebut, patut diduga jaksa yang bertugas di KPK pembawa atau penyimpan bendera tersebut patut diduga telah melanggar kode etik jaksa dan diduga melanggar disiplin PNS sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman lewat keterangan tertulis, Senin (4/10/2021).
Baca juga: Kronologi Ditemukan Bendera HTI di Ruang Kerja KPK hingga Tanggapan Mantan Pegawai
MAKI meminta Jamwas Kejagung melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan berdasarkan kode etik jaksa, PP 53/2010 tentang Disiplin PNS, Sumpah Jabatan, UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.
"Meskipun dugaan jaksa yang sedang bertugas di KPK, namun Jamwas Kejagung tetap berwenang melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran etik jaksa di mana pun bertugas," ujar Boyamin.
Sebelumnya, KPK menyatakan jaksa yang membawa bendera tersebut terbukti tidak memiliki afiliasi dengan kelompok atau organisasi terlarang sehingga tidak terdapat peraturan yang melarang perbuatannya.
"Pegawai yang memasang bendera tersebut terbukti tidak memiliki afiliasi dengan kelompok/organisasi terlarang, sehingga tidak terdapat peraturan yang melarang atas perbuatannya," ungkap Ali, Jumat (1/10/2021).
Baca juga: Tingkat Kepercayaan Menurun, KPK: Pemberantasan Korupsi Ikhtiar Panjang
KPK, lanjut Ali, mengingatkan seluruh insan komisi untuk menghindari penggunaan atribut masing-masing agama di lingkungan kerja demi menjaga kerukunan umat beragama.
"Kecuali yang dijadikan sarana ibadah," imbuhnya.
Sementara nasib staf satuan pengamanan (satpam) bernama Iwan Ismail yang memotret jaksa tersebut membawa bendera sudah dipecat KPK pada 2019.
KPK memastikan informasi perihal penyusupan Taliban di KPK seperti yang dinarasikan Iwan Ismail merupakan kabar tidak benar.
Pada saat Iwan Ismail menyebarkan foto itu pada 2019, KPK langsung melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi, bukti, dan keterangan lain yang mendukung.
"Sehingga disimpulkan bahwa yang bersangkutan sengaja dan tanpa hak telah menyebarkan informasi tidak benar (bohong) dan menyesatkan ke pihak eksternal. Hal tersebut kemudian menimbulkan kebencian dari masyarakat yang berdampak menurunkan citra dan nama baik KPK," kata Ali.